Saya menganut agama Katolik. Sejak kecil, kami hidup berdampingan dengan sesama yang berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Kami adalah warga transmigrasi di kampung Bersehati, Erom I, kabupaten Merauke, Papua. Kampung ini mulai terbentuk sejak pertama kali kami datang, pada 9 September 1987. Saat itu hanya warga transmigrasi dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan beragama Katolik dan Protestan. Pada tahun 1990, transmigrasi gelombang kedua datang. Mereka berasal dari Jawa dan beragama Islam. Bersebelahan dengan kampung kami, ada kampung penduduk asli. Nama kampung itu Senayu. Di kampung itu semua penduduknya beragama Katolik. Mereka adalah orang Marind yang sudah menganut agama Katolik sejak zaman misionaris. Baik di kampung kami yang warganya menganut agama Katolik, Protestan dan Islam, maupun kampung orang asli Marind yang beragama Katolik, kami semua hidup rukun dan damai.
Saat Idul Fitri, orang-orang Katolik dan Protestan berkunjung ke rumah orang-orang muslim. Demikian halnya, saat Natal, orang-orang Islam berkunjung ke rumah warga nasrani. Suasana persaudaraan terjalin dengan baik, tanpa saling curiga. Suasana persaudaraan di kampung Bersehati dan juga di kampung Senayu menjadi cermin bahwa manusia bisa hidup rukun dan damai di manapun berada, sejauh mau terbuka untuk menerima dan menghormati sesamanya yang berbeda. Kita bisa bayangkan bagaimana orang Nusa Tenggara Timur yang adalah fanatik Katolik bisa hidup berdampingan dengan orang Jawa yang fanatik Islam? Refleksi sederhana yang pernah diungkap oleh orang tua di kampung ini adalah, “Semua manusia sama. Apa lagi sama-sama datang untuk merantau demi hidup yang lebih baik.
Untuk mencapai hidup baik yang diimpikan manusia harus bersatu dan saling menghormati, tanpa melihat latar belakang yang berbeda.” Situasi harmonis di kampung Bersehati dan Senayu, berbeda dengan pengalaman di beberapa tempat di Indonesia yang umat manusianya saling melarang untuk mendirikan tempat ibadah. Misalnya, di Aceh Singkil orang Kristen dilarang mendirikan gereja. Alasannya belum ada IMB dan menghormati kearifan lokal. Demikian halnya, di Manokwari, tepatnya di kampung Andai, Manokwari Selatan, orang Kristen melarang umat Islam mendirikan masjid. Alasannya pembangunannya belum mengikuti aturan yang berlaku, harus menghargai kearifan lokal dan karakteristik Manokwari sebagai kota Injil.
Ketika menyaksikan realitas sosial ini, muncul refleksi, “Mengapa umat Islam dan Kristen saling melarang untuk mendirikan rumah ibadah?” Allah macam apa yang disembah oleh kedua agama ini? Apakah Allah pencemburu? Apakah Allah pembalas dendam? Apakah Allah perusak? Atau Allah macam apa? Mengapa atas nama kearifan lokal, nilai-nilai adat, nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama, kita saling membatasi satu sama lain? Mengapa kita melarang orang Islam mendirikan mesjid, yang adalah tempat untuk memuji Allah? Mengapa kita melarang orang Kristen mendirikan gereja, yang adalah tempat untuk memuji Allah? Apakah Allah kita menghendaki kita berbuat demikian? Setiap hari kita berdoa kepada Allah, tetapi pada saat bersamaan kita menghina sesama yang berbeda dengan kita. Padahal kita percaya bahwa kita semua berasal dari Pencipta, Allah yang sama. Kita yakin bahwa hanya ada satu Allah yang kita sebut dengan berbagai nama, sesuai refleksi iman kita masing-masing, tetapi mengapa kita melarang sesama kita yang memuji Allah dengan caranya dan imannya untuk mendirikan rumah ibadah? Kita mengatakan bahwa Allah itu pengasih, pengampun, panjang sabar dan segala kebaikan berasal dari Allah, tetapi mengapa kita justru menghina Allah dengan sikap kita yang membatasi sesama untuk beribadah? Kita melarang sesama yang berbeda agama dengan kita untuk mendirikan rumah ibadah, apa untungnya dari sikap seperti ini? Apakah Allah menyuruh kita melakukannya? Mengapa kita takut terhadap perbedaan? Mengapa kita merasa terancam tatkala hidup bersama dengan sesama yang berbeda agama dengan kita? Kita memiliki pendidikan tinggi. Para pastor, pendeta, uztad, imam mesjid dan pemuka agama lainnya memiliki pendidikan tinggi. Mereka dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi seringkali berpikiran sempit. Para pemuka agama ini seringkali memberikan indoktrinasi agama yang keliru kepada umat. Fanatisme sempit dalam agama-agama lahir karena adanya proses pendidikan yang keliru, yang ditabur sejak dalam rahim ibu. Umat menjadi fanatik karena model dakwah dan khotbah serta pendidikan agama yang mereka terima salah dan keliru serta jauh dari nilai-nilai hakiki agama. Seringkali pendidikan agama yang semestinya memberikan pencerahan justru menjadi ajang indoktrinasi yang menjurus ke fanatisme sempit.
Pendidikan agama seringkali tidak memberikan ruang bagi para peserta didik merefleksi imannya dalam realitas hidup sehari-hari, tetapi menjadi tempat indoktrinasi bahwa agama lain, di luar agama yang kita anut tidak baik. Pendidikan agama yang keliru selama puluhan tahun ini telah menjadi fondasi kebencian atas nama agama yang saat ini sedang marak terjadi di Indonesia.
Menyaksikan semua ini, saya sangat sedih. Saya ingat almarhum bapa saya, Karolus Kowan Jilung, yang hanya kelas 3 SR tetapi memberikan teladan toleransi yang sangat tinggi kepada kami. Beliau seorang petani sederhana, pendiam dan rajin bekerja. Setiap pukul 18.00 dia setia mendengarkan suara adzan di radio. Dia juga suka sekali mendengarkan lantunan lagu-lagu qasidah yang biasa diputar sebelum dan sesudah adzan. Dia bilang, “Suara adzan merdu. Mereka berdoa kepada Allah. Saya turut merasakan kehadiran Allah.” Kalau seorang petani sederhana, yang pendidikannya hanya kelas 3 SR bisa berefleksi seperti ini mengapa kita yang memiliki pendidikan tinggi justru meredusir nilai-nilai universal manusia demi kepentingan diri sendiri? Mengapa kita takut mengakui bahwa Allah yang disembah sesama yang beragama lain juga adalah Allah kita? Mengapa kita bersikukuh bahwa hanya Allah kita saja yang benar? Mengapa kita mengklaim bahwa keselamatan itu hanya ada pada Allah kita? Mengapa kita mengklaim bahwa keselamatan itu hanya ada pada agama kita? Apakah benar seperti itu? Melalui refleksi ini, saya mau mengajak segenap umat manusia untuk saling menerima, saling menghormati dan saling memberikan ruang untuk berdialog.
Kita mesti membangun budaya berbagi pengalaman tentang refleksi iman kita untuk saling menguatkan bukan untuk saling menjatuhkan. Kita harus memberikan teladan saling menerima dan menghormati keragaman kepada anak-anak kita. Proses ini harus dimulai dari dalam diri sendiri dan dari keluarga-keluarga. Peristiwa Aceh Singkil dan Andai, Manokwari adalah cermin bahwa manusia sedang meredusir nilai-nilai universal martabat manusia. Manusia mengklaim dirinya sebagai yang paling baik dan sesamanya adalah buruk. Manusia mengklaim bahwa agama yang dianut sesamanya tidak baik. Manusia mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang memberikan keselamatan. Klaim kebenaran semacam ini membuat manusia menderita lahir dan batin. Kita harus menghentikan klaim-klaim negatif yang menyengsarakan hidup manusia ini. Kita harus saling menerima dan menghormati sesama kita yang berbeda adat, budaya dan agama. Manusia, apa pun latar belakangnya tetap manusia. Kita semua berasal dari Pencipta yang sama, yang kita sebut dengan berbagai nama. Kalau kita menghina sesama kita, sama saja kita menghina Pencipta kita. Kalau kita melarang sesama untuk mendirikan rumah ibadah, maka kita tidak lagi mengakui Allah yang kita imani.
Saya yakin agama kita mengajarkan kebaikan, bukan sebaliknya. Kita harus kembali kepada nilai-nilai hakiki agama kita, cinta kasih, pengampunan, saling menerima dan menghormati. Kita harus hidup berdampingan, tanpa saling curiga dan prasangka buruk. Itulah jalan menuju perdamaian sesungguhnya. Kalau kita sudah hidup damai dengan sesama, saling menerima dan menghormati, tanpa prasangka, maka tidak ada lagi persoalan dalam mendirikan rumah ibadah dan lain sebagainya.
Senin, 30 November 2015
Mengapa Mesjid dilarang di bangun di Manokwari-Papua, dan mengapa Gereja dilarang dibangun di Singkil-Aceh
Senin, November 30, 2015
Unknown
No comments
0 komentar:
Posting Komentar