widget

Rabu, 24 September 2014

Kampung Pelukis Kayu, Asei Jayapura - Papua - Indonesia


Jayapura -  Kampung Asei Besar yang terletak di Kabupaten Jayapura-Papua adalah surga bagi pelukis kulit kayu. Pasalnya, kampung yang berpenduduk sekitar 75 kepala keluarga ini memiliki tradisi melukis di atas kulit kayu, tidak terkecuali kaum muda dan anak kecil.
Salah satu pelukis kulit kayu setempat, Corry Ohee (54) menuturkan tradisi melukis di atas kulit kayu telah dimulai sejak tahun 1600-an.

Tradisi ini sempat punah dengan perkembangan jaman kelengkapan hidup, misalnya berbagai busana dalam bahasa setempat disebut malo beralih ke bahan dasar kain dan tekstil lainnya.
“Namun pada tahun 1975, antropolog asli Papua, Arnold Ap dan Danielo Constantino Ayamiseba menggerakkan kembali tradisi mengukir atau melukis kulit kayu, ukiran asli Suku Asei dan hingga saat ini trasisi tersebut masih terus dilanjutkan, hingga diperkenalkan ke manca negara seperti di sejumlah negara di Eropa,” ujarnya kepada Redaksi kami, saat berkunjung ke pulau tersebut, Kamis (11/9/2014).

Bahkan sejumlah lukisan asli kulit kayu miliki Suku Asei masih tersimpan rapi di sejumlah museum besar di daratan Eropa.
Salah satu budayawan berkebangsaan Eropa, Prof Jac Hoogerbruge berhasil mengumpulkan foto-foto lukisan tersebut di sejumlah negara Eropa dan membuat buku tentang lukisan kulit kayu itu.

Oleh : Muhai Tabuni

Selasa, 23 September 2014

Papua, antara Gereja, Pelanggaran Ham dan Korupsi


PAPUA_HTTP – Tanggal 5 Februari 1855, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, teluk Doreh, Manokwari Papua. Pada hari itu, mereka memberkati Papua. Genderang pewartaan Injil pun bergema. Orang Papua secara resmi menerima Tuhan dan Injil. Peristiwa bersejarah ini, di kemudian hari dikenal sebagai hari pekabaran Injil, dan dirayakan secara meriah di seluruh tanah Papua.

Demikian halnya, di selatan Papua, tanggal 14 Agustus 1905 para misionaris katolik dari Belanda secara resmi membuka pos misi, untuk memulai karya pewartaan Injil. Sekali lagi, Papua diberkati. Kini, hampir di setiap kabupaten/kota di Papua memiliki situs Injil masuk di daerahnya. Situs ini sebagai simbol yang mengingatkan bahwa Papua telah menerima Tuhan Yesus dan Injil serta diberkati oleh Tuhan. Sudah ratusan tahun orang Papua menerima Yesus dan Injil. Demikian halnya, gedung gereja berjejer di setiap jengkal tanah yang didiami orang Papua. Setiap hari Minggu, orang Papua, yang mayoritas menganut Kristen berbondong-bondong ke gereja. Kitab Suci dan kidung pujian ditenteng dengan bangga. Langkah tegap menghadap altar Tuhan. Di sana, jemaat berdoa, bernyanyi, mendengarkan firman Tuhan dan mengikuti perjamuan Tuhan. Suasana sakral dan meriah selalu hadir dalam perayaan itu.

Sayangnya, semua itu berakhir di dalam gedung gereja. Selepas ibadah, cerita kontras dengan suasana dalam gedung gereja dijumpai di setiap sudut tanah Papua. Tidak sedikit pejabat, yang kalau datang ke gereja duduk di bangku terdepan, melakukan tindakan yang jauh dari ajaran Tuhan dan semangat Injil. Para pejabat ini, memiliki rumah mewah, mobil, motor dan berbagai barang mewah lainnya. Mereka hidup mewah di atas penderitaan orang Papua, yang kalau sakit sulit pergi ke Puskesmas karena tidak punya uang untuk ongkos ojek. Anak-anak Papua yang sulit mendapat akses pendidikan tidak dihiraukan. Demikian halnya, mama-mama Papua yang berjualan di bawah sengat matahari tak kunjung mendapatkan tempat berjualan yang layak. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara, yang kini dipegang oleh anak-anak Papua sendiri, yang sedari leluhur sudah menerima Tuhan Yesus dan Injil.

Pemandangan yang sama tampak juga dalam kehidupan sosial orang Papua, yang setiap saat berada dalam bayang-bayang diskriminasi dan kriminalisasi oleh aparat negara. Ketika para aktivis Papua bicara tentang sejarah Papua, keadilan dan kebenaran, mereka selalu mendapat intimidasi. Kebebasan benar-benar dikekang. Bahkan tidak sedikit yang mati karena memperjuangkan keadilan di atas tanah Papua. Situasi ini semakin runyam tatkala Papua menjadi tempat transit ribuan aparat negara, yang siap membungkam suara orang Papua yang menuntut keadilan dan pelurusan sejarah Papua.

Bukan itu saja, pelanggaran hak asasi manusia, yang menyengsarakan orang Papua, menjadi lengkap tatkala korupsi merajalela. Uang otsus Papua sudah puluhan triliun mengalir ke Papua, tetapi orang Papua tetap menderita. Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun dan menyejahterakan orang Papua, justru dikorupsi (dicuri) oleh para pejabat, yang sebagian besar adalah orang Papua, yang juga menganut iman kristiani. Para pejabat, yang biasa setiap hari minggu atau saat ibadah duduk paling depan, justru mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa peduli pada jerit penderitaan sesamanya, yang juga adalah orang Papua.

Menyaksikan semua ini, patut dipertanyakan dan direfleksikan, sejauh mana Gereja dan Injil memengaruhi moralitas pejabat-pejabat (di) Papua? Sejauh mana Gereja dan Injil berperan dalam proses transformasi di Papua? Sejauh mana orang-orang Kristen, yang telah menerima Tuhan dan Injil menjadi saksi akan imannya? Sejauh mana pemimpin Gereja dan para gembala umat menyikapi bobroknya situasi sosial di Papua ini?
Gereja mengatakan bahwa tidak mau terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara, politik praktis dan apa pun yang berkaitan dengan dunia ini.

Gereja hanya mau bicara tentang liturgi dan bangun gedung-gedung gereja yang mewah. Gereja hanya mau bicara kalau ada ancaman langsung terhadap institusinya atau ritusnya dilecehkan. Realitas sosial yang bobrok di tanah Papua, ternyata membungkam suara kenabian, yang seharusnya dikumandangkan oleh para pemimpin Gereja dan gembala umat. Kenyataannya, peminpin Gereja dan gembala jemaat diam! Bahkan pada satu sisi, Gereja bilang tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan dan poitik praktis, tetapi kenyataannya para pemipin Gereja dan gembala biasa duduk di kursi terdepan bersama para pejabat yang korup tatkala ada acara-acara resmi kenegaraan. Ini memalukan!

Tampak bahwa kolaborasi antara Gereja dan penguasa untuk menindas orang Papua benar-benar terjadi. Ironinya, para gembala merasa nyaman tatkala bersanding-ria dengan para pejabat yang korup dan menyengsarakan orang Papua. Para gembala kurang peduli pada jerit penderitaan jemaat. Mereka pun turut menikmati kemewahan bersama para pejabat korup di atas penderitaan jemaat dan orang Papua. Bahkan saat ini ada trend, para gembala mau hidup mewah, walaupun sebagian dari mereka menjanjikan hidup sederhana dan miskin di hadapan jemaatnya.

Selain kolaborasi seperti itu, para pemimpin Gereja dan gembala jemaat saat ini cenderung membangun gereja fisik, ketimbang membangun jemaat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tengah kota, tetapi juga di wilayah terpencil. Jemaat diminta kumpul uang untuk bangun gedung gereja dan tempat tinggal para gembala. Gedung gereja menjadi fokus, sementara jemaat, yang adalah manusia ditelantarkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa wibawa Gereja sebagai pihak yang telah membawa Injil ke tanah Papua sedang merosot. Dan mestinya para gembala malu, sebab mereka selalu mengatakan bahwa orang Papua sudah diselamatkan oleh kehadiran Gereja dan Injil Tuhan, tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Jemaat dan orang Papua semakin menderita.

Saat ini dan ke depan, Gereja (para gembala dan segenap jemaat) perlu kembali kepada Injil Tuhan, yang otentik. Para gembala perlu menyuarakan suara kenabian secara lantang untuk melawan situasi sosial yang bobrok di tanah Papua. Demikian halnya, segenap jemaat perlu menjadi saksi Injil dalam setiap tutur kata dan perbuatan: berlaku adil dan jujur. Tidak korupsi.

Oleh : Muhai Tabuni

Senin, 22 September 2014

Senjata Api Bukanlah Mahar

 
Ilustrasi


Manokwari – Komandan Kodim 1703 Manokwari, Papua Barat, Letkol Inf Stevanus Satrio Aribowo mengakui masih banyak senjata api yang beredar di kalangan masyarakat Manokwari.

Dandim 1703 Manokwari mengatakan bahwa masyarakat Manokwari masih menyimpan senjata api untuk digunakan sebagai alat pembayaran mas kawin.

Dandin 1703 juga menekankan kepada seluruh masyarakat Manokwari agar menyerahkan senjata yang masih dimiliki serta disimpan untuk segera diserahkan kepada pihak Kodim agar diamankan.

Masyarakat Papua terutama masyarakat Manokwari, kini sudah saatnya menggunakan uang atau perhiasan untuk dijadikan sebagai mas kawin dan tidak lagi menggunakan senjata api karena era ini dan era yang berkembang di Papua bukan zamannya lagi menggunakan senjata api.

Diharapkan agar seluruh masyarakat Manokwari yang masih menyimpan senjata api untuk diserahkan kepada pihak TNI maupun Polri agar tidak disalahgunakan serta melanggar UU yang ada.

Dandim 1703 menyampaikan bahwa peristiwa bahwa peristiwa pembakaran 30 rumah warga Kampung Wamgeti Manokwari pekan lalu merupakan salah satu contoh kecil alibat dari masyarakat yang menggunakan senjata api, karena pembakaran rumah tersebut bermula dari kasus salah seorang warga salah menggunakan senjata api.

Semua orang mengetahui bahwa menyimpan dan memiliki senjata api yang ilegal dan tanpi izin adalah suatu tindak kriminal dan dilarang serta dilarang keras oleh ketentuan Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia.


Tidak seharusnya orang-orang sipil menggunakan senjata api, karena menggunakan senjata api adalah suatu hal yang membahayakan. Apabila masyarakat menyalahgunakan senjata api tersebut, maka akan terdapat korban yang berjatuhan. Dan warga masyarakat Papua akan takut serta terancam dengan adanya orang-orang yang menggunakan senjata api itu dan senjata api bukanlah suatu mahar atau mas kawin. Sesama warga Papua, tidak seharusnya kita saling menjaga dan tidak usah saling mengancam satu sama lain. Kita bersama-sama membangun Papua lebih maju dan jangan rusak Papua dengan tangan-tangan kotor yang hanya ingin menghancurkan Papua

Sabtu, 13 September 2014

Lukas Enembe : “............Papua itu adalah merdeka bersama Indonesia””


Papua tidak akan bisa merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena semua orang tahu sejarah Papua itu adalah merdeka bersama Indonesia
Itulah sepelintir kalimat yang diucapkan oleh Gubernur Provinsi Papua Papua dalam acara Pisah Sambut Kapolda Papua 2014, dari Irjen Pol. Drs. M. Tito Karnavian, MA, PhD kepada Brigjen Pol. Drs. Yotje Mende, M.Hum di Aula Gubernur Provinsi Papua, Kamis, 11 September 2014.

Banyak orang mengetahui bahwa sejarah Papua itu adalah Merdeka bersama Indonesia. Namun masih juga ada sekelompok orang yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.
Enembe menjelaskan bahwa sekelompok orang itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui akan sejarah. Sehingga mereka akhirnya terhasut oleh orang-orang yang memang menginginkan kemerdekaan Papua. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah dengan menyerukan boikot serta menyebarluaskan opini-opini negatif terhadap pemerintah melalui Sosial media ke masyarakat.

Selain itu dalam amanat yang diberikannya dalam acara tersebut, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe mengharapkan kepada seluruh masyarakat Papua yang ada di kota, pegunungan, dataran rendah, di pesisir untuk bisa memberi dukungan kepada Polri, memberi informasi kepada Polri untuk apapun aksi-aksi yang terjadi secara transparan, karena Papua ini baik, Papua ini damai dan dapat hidup berdampingan dengan semua orang dalam bingkai Indonesia.

Dengan kerjasama yang baik dan kompak dengan Polsek dan Kodim-kodim yang ada disekitar kita maka kita akan melindungi rakyat kita dari gangguan-gangguan keamanan”,tambahnya.


Enembe juga mengatakan dalam waktu dekat ini kita akan mengalami masa transisi dari pemerintahan SBY ke Jokowi.  Untuk kemungkinan kebijakan pemerintahan yang baru ini seperti apa terhadap Papua dapat kita nilai nanti, tetapi yang jelas apapun kebijakan yang dibuat oleh Bapak Jokowi kita akan mendukungnya.

 
Design by Muhai Tabuni | Bloggerized by Muhay Tabuni - Pemuda Papua Blogger Themes | Muda Merdeka Papua Indonesia management