widget

Senin, 25 November 2013

Membangun Papua Tak Cukup dengan IPTEK

Bicara soal Papua, adalah hal yang paling beda buat saya, tantangannya lebih besar, kenapa? yah, kalian tau sendiri lah.. Masalah disini Kompleks Bro.., Sadar kalau membangun Papua tidak cukup dengan mengandalkan kemampuan intelektual dan ilmu pengetahuan saja. Lebih dari itu, membangun Papua membutuhkan hati dan kemauan untuk mencintai rakyat Papua. Selain itu untuk membangun Papua, juga dibutuhkan kejujuran dan kemauan untuk hidup bersama dengan rakyat. Meski bukan segala-galanya, dana untuk membangun sangat dibutuhkan. Karena masalah dan persoalan di Papua jauh lebih besar dari besarnya dana yang masuk. Bahkan, banyak dana yang salah masuk kamar, mengendap dan terakumulasi menjadi gumpalan uang haram bagi mereka yang punya mata tapi tak bisa melihat saudara yang sedang merintih, meskipun sama-sama masyarakat asli Papua.

Sebagian besar dana itu melayang kembali keluar Papua, antara lain ke Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. siapa yang membawa?? yahh mereka itu lagi... membelanjakan Uang yang seharusnya untuk saudara. Nah.. Pola pikir seperti ini sangat Meracuni Kehidupan di Papua,, Dari mulai Elit Politik sampai Ke Kaum Tertindasnya. siapa yang menjamin mereka tak akan berontak apabila mereka berteriak namun tak didengar? sedangkan Negara sudah memberikan Lebih namun tetap saja terdengar suara-suara itu.

Selama ini Pembangunan di Papua dilakukan secara bertahap "katanya sih gitu" namun hal itu disebabkan dana anggaran yang selalu hilang entah kemana. sebutlah Pembangunan Jalan Trans Jayapura-Wamena sejak 1950-an hingga sekarang masih belum  selesai 100%. lantas bagaimana kita mau bangkit dan memajukan Papua jika Pemikirannya -pun masihn seperti itu? seakan kita minta kekayaan pada raja Iblis yang meminta tumbal keluarga atau orang yang kita cintai. Kita harus merubah cara pikir seperti ini untuk membuat paradigma baru dalam masyarakat, yaitu Masyarakat sebagai subyek pembangunan. maksudnya kita bangun masyarakat dulu untuk meningkatkan SDM dengan menanamkan nilai Pancasila dan Nasionalisme yang tinggi agar mereka paham akan arti Kepedulian Bangsa, dan dari sana mereka akan membangun wilayahnya tentunya dengan kepedulian mereka terhadap lingkungan.



Sudah saatnya Papua berubah untuk lebih baik dan menjadi daerah yang bisa bersaing dengan pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Kita bisa jika Kita Percaya, Kita Bisa jika Kita Berusaha, Kita Bisa jika kita tak putus asa.. buktikanlah para PEMUDA jika PAPUA BISA..!


Senin, 18 November 2013

Intrik Politik Papua

SISI LAIN TENTANG PEMAHAMAN NASIONALISME PAPUA

Papua, 16 September 2013. Adakah yang masih memikirkan tentang kebenaran pemahaman Nasionalisme serta hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik? Sementara situasi di Papua kembali menegangkan pasca mahasiswa/i yang katanya melakukan aksi damai di depan Universitas Cenderawasih, di Jayapura ditangkap. Mahasiswa/i mengadakan protes damai untuk mendesak pihak Uncen memberikan draf RUU Otsus Plus yang sedang digarap oleh pemerintah daerah dengan keterlibatan Universitas Cenderawasih. Gubernur Papua Lukas Enembe menyambut ajakan Presiden SBY yang memberikan kesempatan kepada Papua untuk mendesain secara komprehensif draf RUU Otsus Plus. Menggunakan momentum sisa masa tugas Presiden SBY, Gubernur menyambut insiatif Presiden SBY ini dengan memberdayakan Uncen yang pernah terlibat dalam pembuatan UU Otsus Papua. Sekalipun sudah disadari bahwa RUU Otsus Plus tidak ada dalam pengumuman Prolegnas DPR 2013, tetapi baik Gubernur dan Mendagri masing-masing telah mempersiapkan draf RUU tsb untuk meningkatkan kesejahteraan Rakyat Papua dan Kemajuan Papua dalam segi fisik.

Memperhatikan pengadaan RUU Otsus Plus yang dikemas Gubernur dan Mendagri bertemu pihak DPR di awal bulan Juli 2013, upaya ini sempat mendapat kritik dari masyarakat Papua karena dinilai tidak mewakili aspirasi bersama dan berakar pada mekanisme pengambilan suara yang dipraktekkan dalam masyarakat Papua. Keterlibatan Majelis Rakyat Papua dalam penyusunan draf RUU Otsus Plus juga dipertanyakan oleh masyarakat, mengingat MRP adalah wakil-wakil rakyat yang representasinya mewakili orang asli Papua menurut sukunya masing-masing. Namun jika kita feedback kembali, inilah kewajiban mereka dalam mengambil kebijakan demi kemajuan bersama.
Ilustrasi 
Penahanan mahasiswa/i telah mendorong pemimpin Gereja, Pdt Benny Giay dari Sinode Gereja Kingmi, Pares Wenda dari Persekutuan Gereja-Gereja Baptis memberikan keterangan pers sekaligus membangun kesatuan pandangan dalam masyarakat Papua terhadap perkembangan situasi politik di tanah Papua saat ini. Pdt Benny Giay menyayangkan peran UnCen sebagai lembaga pendidikan, penelitian dan pengajaran yang telah terlibat terlalu jauh pada persoalan perancangan UU Otsus Plus yang sebenarnya kewenangannya ada pada pemerintah daerah dengan membangun aspirasi dari masyarakat di seluruh Papua melalui mekanisme diskusi yang disiapkan oleh Panitia Khusus Perancangan UU Otsus Plus yang difasilitasi oleh Asisten Bidang Pemerintahan Pemerintah Daerah.

Padahal, apabila kita kaji kembali pernyataan dari Pdt Benny Giay diatas, pernyataan tersebut malah menjadi Boomerang untuk beliau sendiri. Justru Pemerintah Daerah dalam rangka membangun aspirasi dari masyarakat di seluruh Papua melalui mekanisme diskusi yang disiapkan oleh Panitia Khusus Perancangan UU Otsus Plus yang difasilitasi oleh Asisten Bidang Pemerintahan Pemerintah Daerah. maka disitulah Pemda juga menyertakan pihak Uncen selaku Pemuda yang secara notabene adalah penerus bangsa agar ikut menyumbangkan aspirasi demi kemajuan bersama. disamping itu Pemda juga menghadirkan pihak-pihak terkait sesuai fungsi masing-masing.

Menarik memperhatikan tanggapan beberapa Media Online yang menilai tentang pelaksanaan konferensi press yang dilakukan oleh Pdt. Benny Giay dianggap sebagai tanda penolakan terhadap percepatan pembangunan di tanah Papua. Anggapan dari kelompok masyarakat ini justru bertolak belakang dengan kenyataan tentang tujuan dari pelaksanaan RUU Otsus Plus adalah menjaminkan tentang pencalonan kepala daerah di Propinsi Papua dan Papua Barat harus berasal dari anak Papua. Selain itu, RUU ini juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung memperoleh dana pajak yang diserahkan oleh PT Freeport tanpa melalui pengelolaan pemerintah pusat.

Dengan pengalaman sebagai seorang Pendeta yang melihat secara jeli penderitaan orang asli Papua, Pdt. Benny Giay tentu saja berani bertanya tentang dampak dari perancangan UU Otsus Khusus ini sebenarnya untuk siapakah? Pengalaman selama hampir 12 tahun sejak UU Otsus Papua diturunkan, perubahan secara ekonomi yang mengantarkan orang asli Papua menjadi pelaku ekonomi di tanah sendiri belum terlihat dengan merata. Beban masyarakat bersama saat ini adalah kemiskinan dan rendahnya SDM di Papua dalam mengelola Papua tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari ketidak matangan antara produk UU Otsus yang dihasilkan dengan mekanisme pembangunan yang profesional tanpa terjadinya penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan sendiri, maupun korupsi yang menjamur pada berbagai birokrasi di Papua.

Saya tidak terlalu mengenal Pdt Benny Giay, kecuali membaca disertasinya yang berjudul Zakheus Pakage and His Communities (1995), Tetapi sekarang, Sebagai orang Papua, dengan kapasitas melakukan penelitian melintasi ruang dan disiplin sosiologi dan antropologi untuk mengerti bagaimana orang Papua berpikir, Pdt Benny Giay dengan cara pemikirannya berbeda dari pemerintah atau kelompok elite lain di dalam lapisan struktur sosial di sana, saya menilai bahwa sebesar apapun hak kita untuk menyetir Pemerintah Daerah, kita harus melihat dari segi Kewajiban kita sebagai masyarakat madani harus mendukung kebijakan dan usaha pemerintah untuk memajukan Provinsi Papua secara sistematis maupun fisik.Sedangkan demi menggapai tujuan pembangunan suatu daerah, itu tidak terlepas dari bagaimana peranan lapisan masyarakat dalam mendukung program Pemerintah Daerah yang juga ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Papua sendiri.

Danau Sentani

Hai guys,. sudah pernah liburan ke Papua belum? keindahan alamnya yang tak pernah habis dibahas dan kekayaan budayanya yang penuh nilai history, pasti akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Rasanya Kurang lengkap apabila belum mengunjungi Danau Sentani yang terletak di kabupaten Jayapura. Danau Sentani adalah danau yang terletak di Papua Indonesia. Danau Sentani berada di bawah lereng Pegunungan Cagar Alam Cycloops yang memiliki luas sekitar 245.000 hektar. Danau ini terbentang antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, Papua. Danau Sentani yang memiliki luas sekitar 9.360 hektar dan berada pada ketinggian 75 mdpl. Danau Sentani merupakan danau terbesar di Papua.
danau sentani

Di danau ini juga terdapat 21 buah pulau kecil menghiasi danau yang indah ini. Arti kata Sentani berarti "di sini kami tinggal dengan damai”. Nama Sentani sendiri pertama kali disebut oleh seorang Pendeta Kristen BL Bin ketika melaksanakan misionaris di wilayah danau ini pada tahun 1898.

Danau ini sudah dikelola menjadi objek wisata karena berjarak 50 kilometer dari Jayapura dan mudah dijangkau, sebagai pelengkap di danau ini sudah banyak terdapat perahu wisata untuk berkeliling di danau sentani.

danau sentani
Di danau ini juga diadakan Festival Danau Sentani untuk menarik wisatawan. Festival Danau Sentani biasanya diadakan pada pertengahan bulan Juni tiap tahun, FDS sendiri telah ditetapkan sebagai festival tahunan dan masuk dalam kalendar pariwisata utama. Festival ini diisi dengan tarian-tarian adat di atas perahu, tarian perang khas Papua, upacara adat seperti penobatan Ondoafi, dan sajian berbagai kuliner khas Papua.

Di danau ini terdapat 30 spesies ikan air tawar dan empat di antaranya merupakan endemik danau sentani yaitu ikan gabus danau sentani (Oxyeleotris heterodon), Ikan Pelangi Sentani (Chilatherina sentaniensis), Ikan Pelangi Merah(Glossolepis incisus) dan Hiu gergaji (Pristis microdon). Danau Sentani kaya akan beragam biota laut dan sudah dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar. Danau Sentani juga dijadikan lokasi wisata untuk berenang, bersampan, menyelam, memancing, ski air serta wisata kuliner. Diantara ketiga ikan endemik danau sentani yang populasinya semakin menyusut adalah ikan gabus danau sentani,hal ini dikarenakan telur ikan ini dimakan oleh ikan gabus dari jenis yang lain.

Inilah Papua, dengan Seribu Keindahannya

The Art Of Papua

Masih tentang Papua, namanya juga Papua memang Pulau yang tak ada matinya. mari kita mulai Oprek satu-satu... mulai dari satwanya.

1. Burung Cendrawasih.

Burung ini merupakan satwa asli pulau Papua, burung ini juga menjadi simbol kebanggaan Papua sehingga dijuluki "Burung Emas", keindahan satwa ini terlihat pada bulunya yang berwarna-warni, yang di dominasi dg Kuning pada ekornya dan cokelat pada perut dan dadanya, sedikit warna hijau mengkilat, menambah eksotisme kecantikan burung ini dan membuatnya terlihat indah.
Burung Cenderawaasih

Burung Cenderawasih

2.  Raja Ampat.
 
Tentunya tidak asing lagi ditelinga kita masyarakat Indonesia, tempat wisata ini merupakan salah satu kekayaan alam negeri Indonesia, dan mungkin salah satu tempat terindah di Indonesia dan di dunia, Raja Ampat memiliki pesona alam yang berada di laut dan keindahan alam bawah lautnya. satu kata untukmu.. "Sempurna".
Raja Ampat Papua Indonesia

Raja Ampat Papua Indonesia
 3. Rumah Honai
Rumah ini merupakan rumah asli masyarakat tradisional Papua Indonesia, berbentuk atap seperti payung yang terbuat dari jerami. dan memiliki nilai estetika yang tinggi serta nilai sejarah yang kuat.
Honay

Honay
4. Papeda
Makanan ini merupakan makanan tradisional asli Papua, terbuat dari bahan dasar sagu yang diolah menjadi makanan pokok pengganti nasi bagi masyarakat papua.
Papeda

Papeda

Sagu
5. Alat musik Tifa
Alat musik ini terbuat dari bahan dasar kayu yang di buat dengan corak yang khas dan kulit buaya, alat musik ini sering digunakan pada saat upacara-upacara adat di Papua.

Tifa

Tifa dalam Upacara adat dan perayaan
 6.Upacara bakar batu.

Upacara ini biasanya dilakukan rakyat papua untuk menguatkan tali ikatan silaturahmi antar rakyat papua, dan biasanya dilakukan dengan makan bersama.
Bakar Batu
7. Hutan Papua

Hutan Papua merupakan salah satu Hutan paling lebat dan terbesar setelah hutan Amazon, di dalam hutan tersebut banyak sekali satwa yang beraneka ragam, dan bahkan satwa purba pun ada.
hutan Papua

hutan Papua
Hiu Gergaji
8.Hiu gergaji (Pristis microdon)

hiu gergaji adalah jenis ikan yang hidup di Danau Sentani. Hiu gergaji juga populer dengan nama pari atau hiu sentani karena memang endemik di Danau Sentani, Papua. Orang barat menyebutnya Largetooth Jawfish yang berarti ikan hiu bergigi besar. Ikan ini termasuk ikan air tawar dan berkembak biak dengan cara ovovivipar.


Walaupun penampilan hiu gergaji cukup mengerikan, namun bukan berarti ikan ini menjadi penguasa di Danau Sentani. Fakta di lapangan menunjukkan populasi anggota famili Pristidae yang bernama Latin Pristis Microdon ini terus menyusut. Ikan yang menyebar di Australia, India, Papua Nugini, Afrika Selatan dan Thailand ini tergolong penghuni air tawar dan menyukai daerah tropis. Biasanya mereka hidup di danau-danau besar, sungai besar atau rawa-rawa tertentu. Di Indonesia ikan hiu gergaji terdapat di Sungai Digul, Sungai Mahakam (Kalimantan), Sungai Siak dan Sungai Sepih.

Ikan ini senang memangsa ikan-ikan berukuran sedang atau yang berbadan lebih kecil. Ukuran tubuh hiu gergaji sendiri lumayan besar, mampu mencapai 6,6 meter. Mulutnya yang diselimuti gerigi tajam cukup ampuh untuk melumpuhkan mangsanya dalam sekejap mata. Padahal menurut beberapa ahli, pandangan mata hiu gergaji tidak terlalu baik, bahkan cenderung buram. Mereka lebih mengandalkan daya penciumannya yang lumayan tajam.
hiu gergaji
Ikan ini mempunyai 14 hingga 22 gigi gergaji di setiap sisi, dimana digunakan sebagai alat mencari makanan, dan juga alat pertahanan terhadap musuhnya. Tubuhnya tergolong ramping dibandingkan dengan hiu sejenis. Ini menyebabkan mereka bisa berenang dengan kecepatan di atas rata-rata dan dengan mudah melesat mengejar mangsa. Tubuh hiu jenis ini berwarna hitam keabu-abuan. Bagian bawah tubuhnya berwarna lebih pucat atau keputih-putihan. Warna tubuhnya cukup beragam, tergantung di mana habitat mereka.

Walaupun penampilan hiu gergaji cukup mengerikan, namun bukan berarti ikan ini menjadi penguasa di Danau Sentani. Fakta di lapangan menunjukkan populasi anggota famili Pristidae yang bernama Latin Pristis microdon ini terus menyusut. Ikan yang menyebar di Australia, India, Papua Nugini, Afrika Selatan dan Thailand ini tergolong penghuni air tawar dan menyukai daerah tropis. Biasanya mereka hidup di danau-danau besar, sungai besar atau rawa-rawa tertentu. Di Indonesia ikan hiu gergaji terdapat di Sungai Digul, Sungai Mahakam (Kalimantan), Sungai Siak dan Sungai Sepih.

Ikan ini mulai sulit dijumpai karena itu ia masuk dalam daftar merah IUCN, yakni daftar spesies yang dilindungi karena sudah terancam punah. Populasi ikan ini makin berkurang akibat kian kecilnya habitat hidup mereka seiring makin bertambahnya populasi manusia. Di samping itu, mereka kerap diburu oleh pa ra kolektor ikan secara tidak bertanggung jawab. Bahkan penduduk setempat masih sering menangkapnya karena dianggap sebagai predator ikan-ikan lain.


Itulah keajaiban Papua yang tak dimiliki oleh daearah lain.. dan inilah yang membuat "Tong bangga jadi Papua".

Kamis, 14 November 2013

Gubernur Nilai Kelompok yang Menolak ‘Otsus Plus’ Tak Mewakili Aspirasi Masyarakat Papua

aktivis GEMPAR dalam demo

Senin (4/11/2013) aksi penolakan Otsus Papua kembali terjadi. Ratusan orang melakukan longmarch dari depan Kampus Uncen Perumnas III menuju Kantor Gubernur Papua. Aksi demo damai ini mengusung aspirasi menolak Otsus Plus, atau Undang – Undang Pemerintah Provinsi Papua.
Massa terdiri dari unsur pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (GEMPAR) Papua.
“Stop tipu kami lagi dengan Otsus Plus Papua”, “Rakyat Papua tolak Otsus Plus Papua”, “Gubernur bunuh rakyat Papua dan Otsus Plus”. Demikian antara lain sejumlah phamflet dan spanduk yang dibawa massa pendemo. Meski  diguyur  hujan, tak menyurutkan niat para massa pendemo  berjalan kaki. Akibat  longmarch ini sempat membuat kemacetan  panjang dari arah Abepura ke Jayapura, begitupun sebaliknya. Aksi longmarch ini dikawal ketat aparat kepolisian dari Polresta Jayapura dipimpin langsung Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare, S.I.K., didampingi Wakapolres AKP Kiki Kurnia.
Ketua BEM STIKOM, Daniel Kosama saat menyampaikan orasinya di depan Kantor Gubernur Papua mengatakan, “Kami meminta dengan tegas kepada gubernur Papua untuk segera menghentikan pembahasan Otonomi Khusus (Otsus) Plus karena Otsus yang sebelumnya sudah dianggap gagal oleh rakyat Papua dan belum ada evaluasi terhadap Otsus sebelumnya.”
Dikatakan, selama 12 tahun perjalanan dari Otsus itu tidak ada yang mengembirakan dan juga tidak perlu dibanggakan, karena dengan adanya Otsus malah orang asli Papua (OAP) semakin termarginalkan di atas tanah leluhurnya sendiri.
Hal senada disampaikan  perwakilan perempuan Papua, Selfy Yeimo, Ketua BEM STIE Port Numbay, Mambri Rumrawer dan Koordinator GEMPAR yang juga selaku Penanggung Jawab aksi demo Yason Ngelia dalam orasi mereka.
Tak Mewakili Aspirasi Masyarakat Papua
Setelah menunggu beberapa saat di halaman Kantor Gubernur, 10 orang perwakilan pengunjuk rasa diterima untuk bertemu Gubernur Papua, Lukas Enembe. Mereka adalah perwakilan dari Ketua – Ketua BEM baik dari PTN maupun PTS di Kota Jayapura.Setelah menyampaikan aspirasi, para pendemo itupun bubar dengan tertib.
Usai pertemuan dengan 10 perwakilan itu, Gubernur Papua Lukas Enembe kepada pers mengatakan, aspirasi dari pemuda dan mahasiswa yang disampaikan kepada pihaknya itu bukan seluruh masyarakat yang ada di atas Tanah Papua.
“Jadi, aspirasi dari pemuda dan mahasiswa yang disampaikan kepada kami…yang menyatakan bahwa seluruh komponen rakyat Papua menolak Otsus Plus itu bukanlah aspirasi dari seluruh masyarakat yang ada diatas tanah Papua. Tetapi ini hanya pernyataan dari segelintir orang saja. Kita bisa lihat massa yang datang kesini jumlahnya kecil, yakni hanya ratusan orang saja dan tak sampai 1000 orang. Lagian yang datang lakukan demo itu sebagian besar adalah mahasiswa bukan seluruh rakyat Papua,” ungkap Gubernur.
“Demo ini hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Kemungkinan ini hanya kesalapahaman di internal kampus. Karena wacana untuk adanya Otsus Plus ini bukan dilahirkan oleh saya. Tetapi ini murni dilahirkan atas keinginan dari kalangan kampus dalam hal ini lembaga Uncen,” jelasnya lagi.
Dikatakan Gubernur, setelah melakukan berbagai macam kajian dan seminar tentang perjalanan Otsus selama 12 tahun oleh Uncen. Dan, berangkat dari kajian itu dilakukan sebuah renungan yang panjang. Kemudian dari hasil renungan itu membuahkan Otsus Plus selanjutnya hasil kajian akan disampaikan pada Pemerintah RI dalam hal ini Presiden SBY.
“Meskipun aspirasi ini tidak mewakili seluruh komponen rakyat, akan tetapi aspirasinya tetap kami terima dan akan kami bahas di tim asistensi antara DPR Papua, DPR Papua Barat, MRP, MRPB, Gubernur Papua maupun Gubernur Papua Barat, dikarenakan hal ini merupakan persoalan bersama yakni menyangkut persoalan diseluruh Tanah Papua,” tukasnya.

Selasa, 12 November 2013

ADA APA DENGAN MAHASISWA?

Memang, tidak pernah ada habisnya jika kita membahas tentang politik, tapi bukan berarti juga gara-gara politik kita melupakan tugas dan kewajiban kita sebagai pemuda tunas bangsa yang menjadi harapan dan masa depan bangsa,. pada kesempatan kali ini saya ingin mengulas sedikit tentang masalah yang terjadi di Universitas Ternama di Papua Indonesia.

Auditorium Uncen
Siapa yang tak kenal dengan Universitas Cenderawasih? lembaga pendidikan lanjutan dengan segudang prestasi yang telah diraih dan turut mengharumkan nama Papua bahkan telah mencetak pemimpin-pemimpin yang berdedikasi di wilayah Papua. Semua itu akan terwujud ketika setiap mahasiswa memiliki cita-cita yang luhur dan berjiwa pancasila. 

Pendemo di depan auditorium Uncen
Memang wajar apabila mahasiswa menggelar demo untuk menyampaikan aspirasi, namun tidak wajar apabila mahasiswa berdemo tanpa dasar yang tidak beralasan dan bertolak belakang dengan aturan dan tata tertib yang berlaku seperti demo yang terjadi di Uncen tanggal 8 September 2013 , apalagi jika seorang Mahasiswa Fakultas Hukum sekaligus merangkap sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM-FH) mengemukakan sikap yang tidak mencerminkan seorang Mahasiswa Hukum yang secara notabene adalah "orang yang ahli Hukum dan mengetahui tentang aturan-aturan hukum"
Amsal Sama Ketua BEM FH Uncen
Amsal menegaskan bahwa dia tidak terima atas penangkapan Aktivis Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Peduli Rakyat  (GEMPAR) karena dinilai tidak menghormati mahasiswa, dan para aktivis akan terus melakukan demo hingga masalah ini benar-benar selesai. 

Hal ini jelas bertolak belakang dengan aturan hukum yang telah tercantum dalam UU yang sempat di jelaskan oleh Kabidhumas Polda Papua, AKBP Sulistyo Pudjo H, SIK bahwa permasalahan sebenarnya adalah pendemo berusaha menggagalkan jalannya acara seminar dan pameran sehingga mereka di amankan dan mereka dijerat dengan pasal 335 KUHP yang menjelaskan tentang adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang  berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atau dengan perbuatan tidak menyenangkan. Karena itu pihak Kepolisian mengamankan 16 orang demonstran untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Senin, 11 November 2013

HARI DIMANA PAHLAWAN KITA BERTERIAK MENGAJAK UNTUK BANGKIT

HARI DIMANA PAHLAWAN KITA BERTERIAK MENGAJAK UNTUK BANGKIT



10 November - Hari Pahlawan. Merupakan hari yang penting dan bersejarah bagi Indonesia. Hari mengenang para Pahlawan yang mendahului kita yang mana mereka merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Semoga para generasi muda tetap mengisinya dengan belajar dengan giat dan terus berusaha meneruskan cita-cita para pahlawan kita.
Hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah yang seharusnya disebut sebagai pahlawan sekarang, bukan perang melawan penjajah lagi tetapi perang melawan kebodohan, kemiskinan dan kesengsaraan. Sehingga tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.
Mungkin, banyak yang melupakan jasa Pahlawan Nasional dari tanah Papua, untuk sedikit mengenang jasa beliau, mari kita kenalan dengan Para Pahlawan Nasional asal dari Papua diantaranya adalah :

1.Frans Kaisepo yang telah berjuang sejak masa-masa kemerdekaan RI. Tindakannya yang sangat teguh menyatakan bahwa Papua merupakan bagian dari Nusantara Indonesia, menjadikan dirinya “dipinggirkan” oleh pemerintah Belanda karena hingga setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda masih bersikukuh menjadikan Papua sebagai wilayah koloninya.
Hingga pada suatu ketika di tahun 1946, Frans Kaisiepo dengan lantang mengatakan “Irian (Papua) itu merupakan bagian dari Indonesia.”
Frans Kaisiepo lahri di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia mengikuti Kursus Bestuur(Pamong Praja) di Hollandia (Jayapura) yang salah stau pengajarnya adalah Soegoro Atmoprasodjo yang merupakan mantan guru Taman Siswa (yogyakarta).
Sejak pertemuannya dengan Soegoro Atmoprasodjo, jiwa kebangsaan Frans semakin bertumbuh dan kian berjuang keras untuk menyatukan Irian (Papua) kedalam NKRI. Ketika umurnya 25 tahun, Frans menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak. Selain itu, pada usianya yang ke-25 tersebut, Frans menjadi anggota delegasi Papua (Nederlands Nieuw Guinea) yang kala itu membahas tentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana pada saat itu Belanda memasukkan Papua dalam NIT.
Di hadapan konferensi, Frans Kaisiepo memperkenalkan nama “Irian” sebagai pengganti nama “Nederlands Nieuw Guinea”, yang secara historis dan politik merupakan bagian integral dari Nusantara Indonesia (Hindia-Belanda). Jelaslah pernyataan Frans serta merta ditolak oleh Belanda dan sejak saat itu pula Frans dipinggirkan oleh Belanda. Selain itu, ia juga dijauhkan dari segala agenda pembicaraan mengenai Papua yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1940-an, Frans Kaisiepo pernah menjadi Kepala Distrik d Warsa, Biak Utara dan menjelang dekade 1940an, ia sempat mengusulkan diri agar Irian (Papua) masuk ke dalam wilayah Karesidenan Sulawesi Utara. Beberapa waktu setelah pengusulan itu, ia dipenjara dan diasingkan oleh Belanda. Kemudian tahun 1961, Frans mendirikan Partai Politik Irian yang bersikap lantang menuntut penyatuan segera Irian (Papua) ke dalam NKRI.

2.Silas Papare berjuang membebaskan untuk menyatukannya dengan Republik Indonesia. Berbagai usaha dilakukannya seperti, pemberontakan, mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII), serta Badan Perjuangan Irian. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil, Irian Barat merdeka dan menyatu kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Pria kelahiran Serui, Irian Jaya, 18 Desember 1918 ini merupakan orang yang berjiwa kebangsaan Indonesia yang sangat tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan dari sekolah setingkat sekolah dasar dan dari sekolah juru rawat, Silas kemudian menjadi Pegawai Pemerintah Belanda. Namun karena jiwa ke-Indonesia-annya yang begitu tinggi, maka begitu ia mendengar bahwa Indonesia telah merdeka, ia pun langsung mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pada bulan Desember 1945, bersama teman-temannya berusaha mempengaruhi pemuda-pemuda di Irian Barat yang tergabung dalam Batalyon Papua agar melancarkan pemberontakan. Rencana itu gagal karena telah bocor duluan. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Jaya Pura. Setelah bebas, pemberontakan kedua pun direncanakan kembali. Namun lagi-lagi gagal karena keburu bocor. Ia pun kembali ditangkap dan dipindahkan ke Serui. Di Serui inilah ia kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Dr.Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan Belanda dari Sulawesi yang kembali dikuasai Belanda setelah proklamasi kemerdekaan.
Selanjutnya pada bulan Nopember 1946, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Karenanya, ia kembali ditangkap pemerintah Belanda dan memindahkannya ke Biak. Dari Biak, tanpa sepengetahuan Belanda, ia melarikan diri ke Yogyakarta. Dan pada bulan Oktober 1949, ia kemudian membentuk Badan Perjuangan Irian yang bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda sekaligus menyatukannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di pihak lain, Belanda tetap berupaya mempertahankan Irian Barat sebagai daerah kekuasaannya. Akhirnya pemerintah Indonesia sampai pada kesimpulan untuk merebut Irian Barat walau dengan cara kekuatan senjata sekalipun.
Silas Papare yang memang sangat menginginkan cepatnya berakhir penguasaan Belanda di tanah leluhurnya itu dengan cepat mengambil bagian dalam rencana pemerintah RI tersebut. Bahkan rupanya jauh-jauh hari, Silas malah sudah mempersiapkan diri akan perang terbuka ini dengan membentuk Kompi Irian di lingkungan Mabes Angkatan Darat.
Namun pada saat akhir-akhir hendak meletusnya perang terbuka tersebut, Belanda akhirnya bersedia berunding. Penandatangan persetujuan pun resmi di lakukan oleh keduabelah pihak pada tanggal 15 Agustus 1962. Dalam penantanganan Persetujuan New York itu, Silas Papare ikut terlibat sebagai anggota delegasi RI.
Tanggal 1 Mei 1963, Irian Barat pun resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Hal sesuai dengan isi persetujuan New York tersebut. Nama Irian Barat pun kemudian diganti menjadi Irian Jaya.
Walau masa hidup Silas Papare lebih banyak terkuras pada usaha pembebasan negerinya, namun semua jerih payahnya itu terasa terbayar sudah. Tanggal 7 Maret 1978, Silas baru kemudian meninggal dunia di tanah kelahirannya Serui.

3.Marthen Indey dilahirkan di Doromena, Jayapura pada tanggal 16 Maret 1912. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Marthen ini merupakan polisi Belanda yang kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik yang diasingkan di Digul, salah satunya adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk menjaga para tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.
 



Bagaimana jadinya sebuah negara tanpa pahlawan. akankah indonesia mampu untuk merdeka tanpa adanya pahlawan?, jika sebuah negeri tak memiliki tokoh seperti pahlawan maka negeri itu adalah negeri yang miskin dari harga diri. dan bahkan tergolong negeri kelas teri.
Pahlawan telah memberikan kita inspirasi untuk tetap berjuang membela negeri dan tanah air. tanggal 10 november adalah hari pahlawan, bangkitlah wahai pemuda tularkan semangat para pahlawan pada dirimu untuk tetap berjuang. sampai dengan hari ini ibu pertiwi masih menangis dan bersedih.
siapakah yang sebenarnya menjadi musuh bangsa ini? Musuh besar kita tak lain dan tak bukan adalah korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itulah sejumlah masalah utama yang dihadapi negeri ini sekarang.
jadi pantaskah indonesia hari ini disebut sebagai negara yang merdeka? korupsi semakin merajalela, seolah-olah para penguasa negeri ini berlomba-lomba mengais uang rakyat. Jumlah orang miskin juga seperti tak ada habis-habisnya, padahal sudah banyak sekali pembangunan dilakukan dimana-mana. apakah pemerintah sudah tidak peduli lagi dengan rakyat miskin?
Memperingati Hari Pahlawan merupakan saat yang tepat untuk mengevaluasi ulang pemahaman kita akan arti pahlawan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi seremoni tampa makna, tak membuat perubahan apa pun bagi negara. Negara seperti dibiarkan berjalan menuju bibir jurang.
Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Dalam konteks ini kita dapat mengisi makna Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tahun pada 10 November, termasuk pada hari ini. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
wahai pemuda, negeri ini menunggu kiprahmu untuk menjadi seorang pahlawan.

Minggu, 03 November 2013

the story of repentance of OPM founder to return to Mother Earth

the story of repentance of OPM founder to return to Mother Earth


                Some time ago Mrs. Indra Sugandi, the writer's friend and senior, lent me an interesting book written by Nicolaas Jouwe titled: Kembali ke Indonesia; Langkah, Pemikiran, dan Keinginan (Return to Indonesia: Steps, Thoughts and Desires. This book tells about a 89 -year-old man, who once was one of the founders of the Free Papua Movement (OPM) and has returned to the bosom of Mother Earth. Through the Jouwe's narratives in this book , a series of facts could be revealed that the existence of an international conspiracy behind the idea of ​​internationalizing Papua as a first step towards Papua Independence, separated from the Republic of Indonesia.

This book starts with an interesting statement made by Jouwe, as a form of guilt and repentance on measures he took at that time.

"I personally judge my escape to the Netherlands is a regrettable choice. But now, I realize that Papua is part of the Republic of Indonesia," said Jouwe.

Nicholaas Jouwe was born in Jayapura on 24 November 1923. In this book which unfortunately was published with unsystematic editing techniques, Jouwe said that he began to settle in the Netherlands in 1961 when Indonesia was under the leadership of Sukarno, struggling for the return of Papua to the bosom of Mother Earth.

However Jouwe, who was still young, took side with the Dutch colonial government, and along with some of his friends, he founded the Free Papua Movement Operations called the Free Papua Movement (OPM). Because Dutch promised Jouwe to be Papua president if in the future it could be independent.

Jouwe even the one who made the Morning Star flag that was first flown on December 1, 1961. " At that time I was a member of the New Guinea Council (Nieuw Guinea Raad) in which in the meeting organized by the Dutch colonial government, I was elected democratically in all areas of Papua."

According to Jouwe that is incidentally the key actor of the OPM formation, the December 1, 1961 event is often used as the basis of Papuan leaders to claim that the state of Papua once existed but was usurped by an international conspiracy of Indonesia , the United States and the Dutch colonial state.

Of course this is a version of the OPM in twisting facts and reality. Yet through the Jouwe's testimony after returning to Indonesia in 2009, two thirds of the member states of the UN General Assembly received the results of so-called Pepera (the determination of society's opinion) in 1969. Consequently the people of Papua  became an official part of the Homeland.

And this is also the Jouwe's reason to decide to return home to Indonesia. Because in his view, that the efforts of Papua to separate itself from the Unitary State of Republic of Indonesia (NKRI) is not in line with history.

The story of Jouwe's return to the bosom of Mother Earth has its own story which is also interesting to taken into account. On March 17, 2009, accompanied by his two children, Nancy and Nico, he decided to attend the invitation of President SBY to return home to Indonesia.

In January 2010, Jouwe settled in Jayapura. Then, how is the story of Jouwe in deciding to return to Indonesia and back to the Homeland?

In 2009 a delegation under the leadership of Ms. Fabiola Ohei arrived in Den Haag with a letter from president SBY to Jouwe. In the time, Fabiola could meet with Jouwe and was accompanied by Ondofolo (Customary Chief) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon Meset, the  first pilot from Papua, ITB graduate, and the Reverend Father Adolf Hanasbey.

The SBY's letter essentially invited Jouwe to return home to Indonesia. Based on the letter, Jouwe met Fanie Habibie, Indonesian Ambassador to the Netherlands at the time.



This is the Jouwe's statement when he met Fanie Habibie.

So we both met quickly once we become familiar with each other, as we both had met a long time. Then we both talked about my return. We talked a lot then Pai Tua said that Pai Tua had a lot of friends from Ambon. He was appointed by the Ambonese became respectable member of Ambon. There is a letter of appreciation he has. He said and he began to ask : " Nic , if I call you with Ambon's songs, will you with with me?

Then I say to Fanie : "Father, I has grown with two cultures, Papua and Ambon, Maluku. So just tell Father." Then he said again : "Nico, I has a rhyme from Ambon : Laju-laju perahu laju, laju sampai Surabaya. Biar lupa kain dan baju, tapi jangan lupa par beta."

I then said : " Oh good . " I also wanted to reply : Angin timur gelombang barat, kapal angkasa warna merpati, Bapa di timur Beta di barat, apa rasa dalam hati."

Tua Pai replied again with a rhyme : "Naik-naik ke Batu Gajah, Rasa Haus makan kwini, Beta rasa sengaja saja, Siapa tahu jadi begini."

Mr Fanie asked : I want to know, when will you go home quickly? I replied with another poem:  Riang-riang ke Bangkahulu, rama-rama si batang padi, diam-diam sabar dahulu, lama-lama tokh akan jadi.”

Mr Fanie said again : let's go home." And I replied : " Yes, I'll go home."

After having a dinner with Fanie Habibie, I gave one last poem to Mr. Ambassador.

“Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kalapa, budi Bapa Dubes sudah sampe, Beta mau balas dengan Apa?”

Mr Fanie replied again : Yes , please go home. I replied : " Yes, I go home."

That is the Jouwe's narratives. Then shortly after that, a ​​diplomatic treaty about the Nicolas Jouwe's return to Indonesia by Mr Fanie Habibie was made.

The story of Jouwe's secret meeting with John F Kennedy

The interesting aspect of this book is the Jouwe's meeting with Kennedy in 1962, in which we know Kennedy agreed with Soekarno in order that the Dutch could immediately return Papua to Indonesia.

According to Jouwe, his meeting with Kennedy later became one of the reasons why he finally decided to return to join the Homeland.

For Jouwe the impressive thing is that when Kennedy asked if Jouwe knew about the history of Papua and knew how long Papua could be into the orbit of the Dutch colony. And naively Jouwe answered that he knew nothing. Because what Jouwe knew through history that he learned in school is about the history of the Netherlands, its geography, how many rivers and mountains in the Netherlands and so on. But in regard with the Papuan history, Jouwe admitted openly to the Kennedy he did not know.

This is where the interesting aspects of the Jouwe's story when he met President Kennedy. Kennedy told Jouwe about the Dutch colonial politics. Why Papuan history itself is not notified to the people of Papua? Because the Dutch knew that Papua is rich in gold, silver and copper.

"The Dutch did not want anyone from the outside to come to Papua . Dutch wanted to prevent the outside from getting into Papua to control it," Kennedy told Jouwe.

Even Kennedy also said that the government of Netherlands propagandized that Papua was littered fully with a wide range of dangerous diseases such as malaria and others. The Netherlands even scared that those who come to Papua would die. In short , the Netherlands carried out such propaganda in order that people do not dare to visit to Papua.

Of the story, Kennedy fully supported the integration of Papua to Indonesia. The Jouwe's meeting with Kennedy is precisely in order to persuade Jouwe to agree Papua to be part of Indonesia.

It is understandable if his meeting with Kennedy is confidential, because Jouwe was in the capacity as an advisor and member of the Kingdom of the Netherlands in Dutch and Indonesian negotiations. So the Jouwe's official position in the time was in the interests of the Dutch colonial government.

If we observe today, no doubt it is a historical irony. Kennedy, the U.S. president going hand-in-hand with Soekarno and the Indonesian government in the period 1960-1963,was intensively fighting for the return of Papua to Indonesia. While Jouwe that is in fact the son of Papua, supported the Dutch by agreing to internationalize Papua independence as a counter to the issue of the struggle of Indonesia to seize West Papua or Irian.

Kisah Pertobatan Pendiri OPM Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Nicolaas Jouwe, Kisah Pertobatan Pendiri OPM Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi 

  "Belanda pernah mengatakan kepada saya bahwa Hindia Belanda merupakan satu-satunya harapan bagi Belanda sebagai pemasok kebutuhan bahan mentah  bagi industrinya." (Nicolaas Jouwe, Pendiri Organisasi Papua Merdeka-OPM)






            Ibu Indra Sugandi, senior dan sahabat penulis, meminjami sebuah buku menarik karya Nicolaas Jouwe bertajuk: ke Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan. Buku ini berkisah tentang seorang pria berusia 89 tahun, yang dulunya merupakan salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka(OPM). Yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bukan itu saja.  Melalui penuturan Jouwe lewat buku ini, terungkap serangkaian fakta-fakta yang membuktikan adanya konspirasi internasional di balik gagasan meng-internasionalisasikan Papua sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  
Buku ini memulai dengan satu pernyataan menarik dari Jouwe, sebagai bentuk rasa bersalah sekaligus pertobatan atas langkah yang diambilnya kala itu.

 "Saya pribadi menilai pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Namun kini, saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI," begitu tukas Jouwe.

 Nicholaas Jouwe lahir di Jayapura pada 24 November 1923. Melalui penuturannya dalam buku ini, yang sayang sekali diterbitkan dengan teknik penyuntingan (editing) yang sangat kacau dan tidak sistematis, Jouwe mulai menetap di Belanda pada 1961. Pada saat Indonesia di bawah pemerintahan Bung Karno, sedang gencar-gencarnya memperjuangkan kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Namun Jouwe yang waktu itu masih muda belia, justru berpihak pada pemerintah kolonial Belanda, dan bersama beberapa temannya mendirikan Gerakan Operasi Papua Merdeka yang kemudian disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).  Karena Belanda menjanjikan Jouwe untuk menjadi Presiden Papua jika kelak sudah merdeka.
 
Bahkan Jouwe lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. “Pada saat itu saya adalah salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang konon dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan saya terpilih secara demokratis di seluruh wilayah Papua,” begitu menurut penuturan Jouwe.

Menurut Jouwe yang notabene merupakan pelaku sejarah terbentuknya OPM, peristiwa 1 Desember 1961 itulah yang seringkali dijadikan dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika Serikat dan juga Negara Kolonial Belanda.

Tentu saja versi OPM ini merupakan pemutar-balikan fakta dan kenyataan. Padahal melalui kesaksian Jouwe setelah kembali ke Indonesia pada 2009, 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, sehingga suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari NKRI.
Dan ini pula yang jadi dasar Jouwe memutuskan kembali pulang ke Indonesia. Karena menurut pandangannya, bahwa upaya pemisahan diri Papua dari NKRI sangat bertentangan dengan sejarah.
  
Kisah kembalinya Jouwe ke pangkuan Ibu Pertiwi merupakan cerita tersendiri yang tak kalah menarik. Pada 17 Maret 2009, dengan ditemani oleh dua orang anaknya, Nancy dan Nico, memutuskan memenuhi undangan Presiden SBY, kembali ke Indonesia.

Pada Januari 2010, Jouwe resmi bermukim di Jayapura.Lantas, gimana ceritanya sampai bisa kembali ke Indonesia dan berpihak kembali ke NKRI?
Pada 2009 sebuah delegasi di bawah pimpinan Nona Fabiola Ohei tiba di Den Haag dengan membawa surat dari Presiden SBY untuk Jouwe. Fabiola ketika itu datang menemui Jouwe dengan ditemani oleh Ondofolo (Kepala Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon Meset, pilot pertama Putra Papua lulusan ITB, dan Bapak Pendeta Adolf Hanasbey.
Surat SBY itu pada intinya mengundang Jouwe kembali pulang ke Indonesia. Berdasarkan surat SBY tersebut, Jouwe menemui Fanie Habibie, Dubes RI di Belanda ketika itu.



Inilah penuturan Jouwe ketika bertemu Fanie Habibiel.
Begitu kami berdua bertemu cepat sekali kami jadi akrab satu sama lainnnya, seperti kami berdua sudah berkenalan lama sekali. Lalu kami berdua bicara soal kepulangan saya. Kami berbicara banyak lalu Pai Tua cerita bahwa Pai Tua banyak bersahabat dengan orang Ambon. Dia diangkat oleh orang-orang Ambon menjadi warga terhormat dari kota Ambonb. Ada sehelai surat penghargaan yang dia miliki.
Dia ceritakan itu dan dia mulai menanyakan: “Nic, kalau beta panggil se dengan lagu-lagu Ambon apa se bisa iko beta?
Lalu saya katakana pada Fanie: “Bapa, beta besar dalam dua kultur, Papua dan Ambon, Maluku. Jadi Bapa bilang saja.” Lalu dia katakana lagi: “Nico, beta punya satu pantun darik Ambon: Laju-Laju perahu laju. Laju sampai ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, tapi jangan lupa par beta.”
Saya lalu berkata: “Wah bagus.” Saya juga mau balas: Angin Timur Gelombang Barat, kapal Angkasa warna Merpati, Bapa di Timur beta di Barat, apa rasa dalam hati.”
Pai Tua jawab lagi dengan satu pantun: “Naik-naik ke Batu Gajah, Rasa Haus makan kwini, Beta rasa sengaja saja, Siapa tahu jadi begini.”
Pak Fanie bertanya: Beta mau tahu, cepat Bapa pulang seng?” Saya jawab dengan pantun lagi: Riang-riang ke Bangkahulu, rama-rama si batang padi, diam-diam sabar dahulu, lama-lama tokh akan jadi.”
Pak Fanie katakana lagi: Pulang jo.” Dan saya sambung: “Ya, Beta Pulang.”

Setelah makan malam bersama Fanie Habibie, saya memberi satu pantun terakhir kepada Pak Duta Besar.
“Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kalapa, budi Bapa Dubes sudah sampe, Beta mau balas dengan Apa?”
Pak Fanie jawab lagi: Ya, suda pulang jua.”   Saya balas: “Ya, saya pulang.”

Demikian kisah yang dituturkan Jouwe. Maka tak lama setelah itu, dibuatlah traktat diplomasi ihwal kepulangan Nicolaas Jouwe ke Indonesia oleh Dubes Fanie Habibie.

Kisah Pertemuan Rahasia Jouwe dengan John F Kennedy

Sisi menarik dari buku ini, adalah pertemuan Jouwe dengan Kennedy pada 1962, yang kita tahu Kennedy bersepakat dengan Bung Karno agar Belanda secepatnya melepas Papua kembali ke tangan Indonesia.
Menurut pengakuan Jouwe, pertemuan dengan Kennedy inilah yang kelak jadi salah satu pertimbangan mengapa akhirnya memutuskan kembali bergabung dengan NKRI.
Yang mengesankan Jouwe adalah, Kennedy bertanya apakah Jouwe tahu tentang sejarah Papua dan sudah berapa lama Jouwe tahu Papua masuk dalam orbit koloni Belanda. Dan dengan lugunya Jouwe menjawab, tidak tahu. Karena yang Jouwe tahu melalui sejarah yang dia pelajari di sekolahnya, lebih banyak tentang sejarah Belanda, tentang geografinya Belanda, berapa banyak sungainya dan gunung yang ada di Belanda. Tapi sejarah Papua itu sendiri Jouwe mengaku terus terang kepada Kenned tidak tahu.
Di sinilah aspek menarik dari Kisah Jouwe ketika bertemu Presiden Kennedy. Kennedy justru yang memberitahu Jouwe bahwa itulah politik kolonial Belanda. Mengapa sejarah Papua itu sendiri tidak diberitahukan kepada masyarakat Papua? Karena Belanda tahu Papua itu sangat kaya akan emas, perak dan tembaga.
“Belanda tidak mau orang dari luar masuk ke situ. Belanda ingin menjaga agar orang dari luar tidak masuk ke Papua untuk menguasai Papua,” begitu kata Kennedy kepada Jouwe.
Bahkan Kennedy juga mengatakan bahwa Pemerintah Belanda mempropagandakan bahwa Pulau Papua penuh dengan berbagai macam penyakit berbahaya seperti malaria dan lain-lain. Belanda bahkan menakut-nakuti bahwa barangsiapa datang ke Papua pasti akan mengalami kematian. Singkat cerita, Belanda lakukan propaganda macam itu agar orang tidak  berani berkunjung ke Papua.
Dari kisah tersebut tersirat memang Kennedy sepenuhnya mendukung integrasi Papua kepada Indonesia. Dan pertemuan Jouwe dengan Kennedy ketika itu, justru dalam rangka membujuk Jouwe agar setuju Papua jadi bagian dari Indonesia.
Bisa dimengerti jika pertemuan dengan Kennedy tersebut bersifat rahasia, karena Jouwe ketika itu dalam kapasitas sebagai penasehat dan anggota Kerajaan Belanda dalam perundingan Belanda dan Indonesia. Sehingga posisi resmi Jouwe justru berada di pihak kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Jika kita amati saat ini, tak pelak merupakan ironi sejarah. Kennedy, Presiden Amerika justru berada satu haluan dengan Bung Karno dan pemerintah Indonesia yang dalam periode 1960-1963 justru sedang gencar-gencarnya memperjuangkan kembalinya Papua ke tangan Indonesia. Sedangkan Jouwe yang notabene putra Papua, malah mendukung Belanda, dan setuju bujukan Belanda untuk mewacanakan Papua Merdeka sebagai kontra isu terhadap perjuangan Indonesia merebut Papua atau Irian Barat.
Dalam buku tangan-tangan Amerika, karya Hendrajit dan kawan-kawan, terungkap bahwa keputusan Kennedy menekan Belanda agar melepas Papua, pada akhirnya memicu kemarahan para pengusaha tambang di Amerika yang dikuasai oleh dinasti Rockefeller, karena lepasnya Belanda dari Papua, telah mengacaukan semua rencana-rencana  bisnis jangka panjang pengusaha-pengusaha Tambang Amerika, Inggris dan Belanda yang sudah disiapkan saa itu.
Sehingga Kennedy dan Bung Karno, praktis sejak saat itu dinyatakan sebagai musuh bersama yang harus disingkirkan. Ketika Kennedy tewas terbunuh di Dallas, Texas, pada 1963, Presiden Lyndon B Johnson yang menggantikan Kennedy, menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih bermusuhan terhadap pemerintahan Bung Karno.
Penggalan kisah pertemuan dan percakapan Nicolaas Jouwe bersama Kennedy, semakin memperkuat berbagai studi sejarah sebelumnya yang menyatakan bahwa Kennedy memang sepenuhnya mendukung lepasnya Papua dari Belanda, dan mengembalikannya kepada Indonesia.
Terbukti bahwa pertemuan bersama Kennedy tersebut dilangsugkan setelah Perjanjian Belanda dan Indonesia ditandatangani oleh di New York 15 Agustus 1962 mengenai Papua Barat. Sedangkan pertemuan Jouwe dengan Kennedy berlangsung pada 16 September 1962.
Namun Jouwe sejak 1961, jadi setahun sebelum  bertemu Kennedy pada 1962, praktis sudah bermukim di Belanda. Hanya karena dijanjikan jadi presiden Papua, Jouwe malah ikut merintis terbentuknya OPM, seraya tetap menjadi Pejabat Negara Pemerintahan  Belanda, dan menjadi perutusan pemerintahan Kerajaan  Belanda ke Amerika untuk menghadiri sidang-sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili Pemerintahan Belanda.


Jouwe dan Perspektif Baru Memaknai Papua
Salah satu bentuk pertobatan Jouwe ketika kembali bergabung dengan NKRI adalah sumbangannya dalam membentuk opini baru kepada masyarakat terhadap sejarah Papua masuk dalam orbit penjajahan Belanda.
Sejarah penjajahan  Belanda bermula pada 1928 ketika Ratu Belanda memerintahkan Gubernur Jenderal Marcus dari Hindia Belanda di Batavia untuk melakukan aneksasi Papua Barat yang meliputi wilayah tersebut.
Pada 1928 ada daerah Jerman di Pasifik yang berbatasan dengan Belanda. Papua kemudian dianeksasi menjadi daerah dari Kerajaan Belanda sekaligus dimasukkan ke dalam daerah koloni Hindia Belanda. Sejak saat itu, Papua dinyatakan sebagai daerah milik Belanda. Sehingga Hindia Belanda memiliki wilayah jajahan dari Sabang sampai Merauke.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda menolak melepaskan sebagian wilayah Hindia Belanda, dan membagi jadi dua bagian: Sebagian dari Sorong sampai dengan yang sekarang disebut Jayapura, satu bagian lagi dari Sabang sampai Maluku yang diakui Belanda sebagai Indonesia.
Menurut pandangan Jouwe yang tidak dipahami anak-anak Muda Papua sekarang, Papua sejatinya sudah masuk Indonesia secara resmi melalui New York Agreement pada 15 Agustus 1962 di mana dinyatakan bahwa Belanda harus serahkan West Papua kepada Indonesia.
Dengan demikian, niat baik Jouwe untuk bertemu masyarakat Papua dan menjelaskan sejarah ini, patut kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya. Karena secara gamblang Jouwe mengatakan, hanya melalui cara inilah penderitaan masyarakat Papua akibat hasutan kelompok tertentu dapat segera diakhiri.
Menarik, karena pastilah yang dimaksud Jouwe kelompok tertentu adalah para elit OPM, yang notabene Jouwe adalah salah satu pendiri dan perintisnya.
Bravo Nicolaas Jouwe.


Sumber            : Nicolaas Jouwe Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan
ISBN/ISSN         : 979-416-962-5
Pengarang        : Nicolaas Jouwe - Personal Name
                        Agus Edi Santoso - Personal Name
                        Max Diaz Riberu - Personal Name
                        Yohanes Ngamal - Personal Name
Subjek             : Biografi Nicolaas Jouwe
Penerbit          : PT Pustaka Sinar Harapan dan Verbum Publishing
Tahun Terbit   : 2013
Tempat Terbit : Jakarta
Deskripsi Fisik : xx, 116 hlm. : il. ; 25 cm
Abstrak           : Buku ini menyampaikan gambaran dan buah pikiran penulis yaitu Nicolaas Jouwe tentang 
                        pembangunan dan penyelesaian masalah Papua berdasarkan pengalaman pribadinya sejak
                        proses pembentukan Papua hingga menjadi Papua seperti sekarang ini. Buku ini menyajikan
                        kisah-kisah sederhana penulis.

 
Design by Muhai Tabuni | Bloggerized by Muhay Tabuni - Pemuda Papua Blogger Themes | Muda Merdeka Papua Indonesia management