|
Malala Yousafzai berpose dengan buket bunga usai berbicara dalam
konferensi pers di Perpustakaan Birmingham, Inggris, Jumat 10 Oktober
2014 (foto: TEMPO.co) |
Papua_http : Nobel Perdamaian tahun 2014 telah diberikan kepada dua pejuang untuk anak-anak, yakni Malala Yousafzai, gadis Pakistan berumur 17 tahun dan Kailash Satyarthi pria asal India berusia 60 tahun. Atas
kerja nyata mereka membebaskan anak-anak yang menjadi korban
perbudakan, Komite Nobel di Norwegia menganugerahkan uang 8 juta kronor
atau sekitar US$ 1,11 juta.
Kailash Satyarthi berhasil membebaskan hampir 80 ribu anak yang menjadi budak di India. Ia
dikenal sebagai pengikut nilai-nilai hidup Mahatma Gandhi untuk
melakukan perlawanan secara damai. atas kerja mengagumkan mereka untuk
kemanusiaan, atas upaya tak kenal lelah mereka demi hak-hak anak, dan
karena telah membuat perjuangan yang mereka lakukan mendapatkan
perhatian seluruh dunia. Sedangkan Malala adalah wanita
muda yang dikenal berani mengkritik milisi Taliban di Pakistan yang
melarang anak-anak perempuan bersekolah. Malala nyaris kehilangan
nyawanya ketika ditembak dari jarak dekat oleh milisi Taliban saat
pulang dari sekolah menuju rumahnya di kawasan lembah Swat dengan
menggunakan bus sekolah. Malala yang sekarang tinggal di London,
Inggris.
Nominator untuk peraih penghargaan Nobel Perdamaian
tahun ini ada 278 orang. Di antaranya yang cukup santer disebut adalah
Benny Wenda, pemuda Papua yang sudah menjadi warga Inggris, setelah
kabur dari penjara Abepura, Papua, tahun 2002. Benny saat itu sedang
menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Abepura atas tindak
kriminalnya memimpin sebuah serangan berdarah tahun 2000 di Abepura yang
menewaskan seorang Satpam dan seorang personel polisi.
Kegagalan Benny Wenda meraih Nobel Perdamaian 2014
menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan kelompok pejuang Papua
merdeka yang sebulan sebelumnya gencar menggalang dukungan melalui
sosial media untuk kemenangan Benny. Ekspresi kekecewaan itu antara lain
ditunjukkan oleh mahasiswa muda Papua yang sedang menuntut di berbagai
kota di Jawa, seperti di Yogyakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.
Selasa (14/10/2014), mereka menggelar aksi unjuk rasa secara bersamaan
di kota-kota tersebut dengan tuntutan yang agak dibelokan, yakni terkait
ditahannya dua jurnalis asing asal Perancis oleh Polda Papua. Tak lupa
mereka selipkan sebuah tuntutan klasik (dan ini sebetulnya tuntutan
utama mereka) yakni
meminta Referendum di Tanah Papua
untuk menentukan status politik wilayah Papua. Hal itu tampak dari
pernyataan koordinator Aksi, Nikson Wenda bahwa “Hak menentukan nasib
sendiri bagi rakyat Papua Barat dijamin oleh hukum internasional, karena
itu kami juga punya hak yang sama, Indonesia harus menjamin hak itu.”
http://www.umaginews.com/2014/10/amp-bandung-gelar-aksi-minta-pemerintah.html
|
Sepak terjang Benny Wenda mencari Suaka Politik |
Dalam hitung-hitungan mereka jika Benny Wenda bisa
meraih Nobel Perdamain, bisa semakin mendekatkan mimpi mereka untuk
melepaskan Papua dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sebuah misi utama
yang sedang diperjuangkan Benny dari markasnya di Oxford, Inggris.
Mereka lupa bahwa para politisi Inggris baru saja “menggagalkan” upaya
pemisahan Skotlandia dari Inggris Raya (Referendum Skotlandia) pada
pertengahan September lalu. Selain itu, para pemenang Nobel Perdamaian
tahun ini adalah para pejuang hak anak. Berbeda dengan Benny Wenda yang
justru “mempekerjakan” ke enam anaknya untuk
menari tarian khas Papua di pinggir jalan di Kota Oxford guna menarik
perhatian warga Inggris atas aksi demonstrasi yang mereka gelar di
tempat itu. Dan lagi, Malala dan Kailash adalah benar-benar tokoh
perdamaian yang layak dijadikan panutan. Lihat
saja Malala misalnya, ia adalah korban penembakan yang lolos dari maut,
bukan pelaku menembakan yang melenyapkan nyawa orang lain. Demikianpun
Kailash Satyarthi adalah penganut nilai-nilai hidup Mahatma Gandhi yang
melakukan perlawanan secara damai, bukan dengan senjata
Sumber: Kompasiana.com , Tempo.co, Umaginwes.com
Penulis : Muhai_Tabuni