widget

Minggu, 19 Oktober 2014

Kekecewaan di balik Hadiah Nobel Perdamaian 2014

Malala Yousafzai berpose dengan buket bunga usai berbicara dalam konferensi pers di Perpustakaan Birmingham, Inggris, Jumat 10 Oktober 2014 (foto: TEMPO.co)

Papua_http : Nobel Perdamaian tahun 2014 telah diberikan kepada dua pejuang untuk anak-anak, yakni Malala Yousafzai, gadis Pakistan berumur 17 tahun dan Kailash Satyarthi pria asal India berusia 60 tahun. Atas kerja nyata mereka membebaskan anak-anak yang menjadi korban perbudakan, Komite Nobel di Norwegia menganugerahkan uang 8 juta kronor atau sekitar US$ 1,11 juta.
Kailash Satyarthi berhasil membebaskan hampir 80 ribu anak yang menjadi budak di India. Ia dikenal sebagai pengikut nilai-nilai hidup Mahatma Gandhi untuk melakukan perlawanan secara damai. atas kerja mengagumkan mereka untuk kemanusiaan, atas upaya tak kenal lelah mereka demi hak-hak anak, dan karena telah membuat perjuangan yang mereka lakukan mendapatkan perhatian seluruh dunia. Sedangkan Malala adalah wanita muda yang dikenal berani mengkritik milisi Taliban di Pakistan yang melarang anak-anak perempuan bersekolah. Malala nyaris kehilangan nyawanya ketika ditembak dari jarak dekat oleh milisi Taliban saat pulang dari sekolah menuju rumahnya di kawasan lembah Swat dengan menggunakan bus sekolah. Malala yang sekarang tinggal di London, Inggris.
Nominator untuk peraih penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini ada 278 orang. Di antaranya yang cukup santer disebut adalah Benny Wenda, pemuda Papua yang sudah menjadi warga Inggris, setelah kabur dari penjara Abepura, Papua, tahun 2002. Benny saat itu sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Abepura atas tindak kriminalnya memimpin sebuah serangan berdarah tahun 2000 di Abepura yang menewaskan seorang Satpam dan seorang personel polisi.
Kegagalan Benny Wenda meraih Nobel Perdamaian 2014 menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan kelompok pejuang Papua merdeka yang sebulan sebelumnya gencar menggalang dukungan melalui sosial media untuk kemenangan Benny. Ekspresi kekecewaan itu antara lain ditunjukkan oleh mahasiswa muda Papua yang sedang menuntut di berbagai kota di Jawa, seperti di Yogyakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Selasa (14/10/2014), mereka menggelar aksi unjuk rasa secara bersamaan di kota-kota tersebut dengan tuntutan yang agak dibelokan, yakni terkait ditahannya dua jurnalis asing asal Perancis oleh Polda Papua. Tak lupa mereka selipkan sebuah tuntutan klasik (dan ini sebetulnya tuntutan utama mereka) yakni meminta Referendum di Tanah Papua untuk menentukan status politik wilayah Papua. Hal itu tampak dari pernyataan koordinator Aksi, Nikson Wenda bahwa “Hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat dijamin oleh hukum internasional, karena itu kami juga punya hak yang sama, Indonesia harus menjamin hak itu.” http://www.umaginews.com/2014/10/amp-bandung-gelar-aksi-minta-pemerintah.html

Sepak terjang Benny Wenda mencari Suaka Politik
Menyinggung soal penahanan dua jurnalis Perancis yang ditangkap di Wamena 7 Agustus lalu oleh jajaran Polda Papua, itu dilakukan sesuai pelanggaran hukum yang mereka lakukan, yaitu penyalahgunaan visa turis untuk kegiatan jurnalistik. Atas kesalahan itu, Pemerintah Perancis maupun kedua jurnalis itu sudah meminta maaf secara tertulis kepada Pemerintah Indonesia. (Baca penyalahgunaan visa dua jurnalis itu di: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/10/14/media-dan-aktivis-siapa-memanfaatkan-siapa–680333.html)
Dalam hitung-hitungan mereka jika Benny Wenda bisa meraih Nobel Perdamain, bisa semakin mendekatkan mimpi mereka untuk melepaskan Papua dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sebuah misi utama yang sedang diperjuangkan Benny dari markasnya di Oxford, Inggris. Mereka lupa bahwa para politisi Inggris baru saja “menggagalkan” upaya pemisahan Skotlandia dari Inggris Raya (Referendum Skotlandia) pada pertengahan September lalu. Selain itu, para pemenang Nobel Perdamaian tahun ini adalah para pejuang hak anak. Berbeda dengan Benny Wenda yang justru “mempekerjakan” ke enam anaknya untuk menari tarian khas Papua di pinggir jalan di Kota Oxford guna menarik perhatian warga Inggris atas aksi demonstrasi yang mereka gelar di tempat itu. Dan lagi, Malala dan Kailash adalah benar-benar tokoh perdamaian yang layak dijadikan panutan. Lihat saja Malala misalnya, ia adalah korban penembakan yang lolos dari maut, bukan pelaku menembakan yang melenyapkan nyawa orang lain. Demikianpun Kailash Satyarthi adalah penganut nilai-nilai hidup Mahatma Gandhi yang melakukan perlawanan secara damai, bukan dengan senjata

Sumber: Kompasiana.com , Tempo.co, Umaginwes.com
Penulis : Muhai_Tabuni

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Muhai Tabuni | Bloggerized by Muhay Tabuni - Pemuda Papua Blogger Themes | Muda Merdeka Papua Indonesia management