widget

Selasa, 18 Maret 2014

Benarkah di Indonesia Ada Genosida di Papua?

ilustrasi
Indonesia baru saja habis dicerca dalam forum Sidang tahunan Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss (4/3/2014) pekan lalu. Adalah Perdana Menteri vanuatu, Moana Carcasses Kalosil yang menggugat Indonesia atas pelanggaran HAM berat di Papua yang terjadi sejak 1969. Carcasses meminta PBB segera mengirim wakil khusus untuk melakukan investigasi masalah HAM di Papua.

Pidato Carcasses di forum PBB itu mestinya bisa membuka mata kita melihat secara obyektif sekaligus mampu membaca kepentingan terselubung di dalamnya. Karena apa yang disuarakan PM Vanuatu itu sekaligus melakukan amplifikasi terhadap internasionalisasi isu Papua.

Jauh sebelum Carcasses berdiri di mimbar sidang tahunan Dewan HAM PBB, isu pelanggaran HAM berat di Papua sudah menjadi tema klasik para pegiat internasionalisasi isu papua. Bahkan lebih dari itu, mereka bilang ‘telah terjadi genosida’ di Papua, atau pemusnahan etnis secara sistematis oleh penguasa. Mungkin sebagian dari kita akan bergumam: wah, kejam benar pemerintah Indonesia.

Persoalannya, pemusnahan etnis itu faktanya mana? Kalau hanya satu dua orang yang terbunuh, itu bukan genosida, tetapi suatu insiden karena berbagai alasan. Alasan utamanya karena masih ada segelintir orang Papua yang meyakini bahwa daerahnya telah dimerdekakan oleh Belanda tahun 1961. Dan bahwa plebisit (PEPERA 1969) itu tidak sah karena menggunakan sistem perwakilan, sehingga Papua bukannya berintegrasi tetapi dianeksasi, dan seterusnya. Para akademisi yang paham hukum tata negara dan beberapa tokoh gereja pun ikut-ikutan mengipas dengan argumen-argumen konyol seperti, menuntut merdeka itu hak, bukan makar, dan bahwa referendum bisa diulang, menghukum pelaku kriminal melanggar HAM dsb.

Suasana seperti ini memang sengaja dipelihara. Dan isu genosida itu memang sengaja terus ‘dijaga’ oleh kelompok pendukung Papua merdeka untuk menyudutkan Pemerintah Indonesia di mata dunia internasional.

Genosida multi-versi

Mari kita simak pernyataan Forkorus Yaboisembut (Ketua Dewan Adat Papua) yang saat ini sedang menjalani hukuman di Penjara Abepura Papua, akibat tindakan makar yang dilakukannya tiga tahun silam, yaitu mendeklarasikan berdirinya ‘negara papua barat’ dalam forum yang ia sebut kongres rakyat papua di lapangan zakeus, Abepura, Papua.

“Secara definisi mungkin Orang Asli Papua (OAP) belum bisa dikatakan mengalami genodisida, tetapi sesunguhnya OAP sedang menuju kearah sana” kata Forkorus awal Maret dua tahun lalu, sebagaimana dilansir tabloidjubi.com .

Dalam logika Forkorus, pertumbuhan populasi penduduk OAP sama sekali tidak mengalami perubahan, jika  dibandingkan Negara Papua New Guinea. Tahun 1969 ketika bangsa Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, jumlah populasi OAP sekitar 800 ratus sekian ribu jiwa. Sedangkan PNG berkisar 9 ratus ribu jiwa. Dia juga mengaku,  saat ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah berkisar 7,7 juta jiwa, sementara jumlah OAP masih berada pada angka 1, 8 juta jiwa.

Menurut Forkorus, mestinya populasi OAP saat ini sekitar 6 juta jiwa jika tidak terjadi proses pemusnahan etnis atau genosida (Jubi, 15 Oktober 2012).

Jika kita tidak membaca secara kritis pernyataan Forkorus di atas, kita akan spontan mengamini tudingan Forkorus, bahwa benar telah terjadi genosida.

Coba simak juga tulisan Selphius Bobii yangsama-sama satu penjara dengan forkorus saat ini. Dalam artikel berjudul ”Etnis Bangsa Papua Sedang Musnah” http://keadilandipapua.blogspot.com/2013/03/etnis-bangsa-papua-sedang-musnah_25.html Bobii menulis :

Dari data-data di atas, tulis Bobii, saya menyimpulkan bahwa di Tanah Papua sedang terjadi proses pemusnahan etnis Papua secara merangkak perlahan-perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).

Senada dengan Forkorus dan Bobii, tahun 2010 seorang Akademisi asal Australia, Jim Elmslie mengeluarkan data yang katanya hasil penelitian tahun 2010. Dalam laporan berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies pada tahun 2006 memperkirakan jumlah penduduk asli Papua di Propinsi Papua dan Papua Barat hingga akhir tahun 2010 akan mencapai 3,612,856.

Dalam laporan itu dirincikan bahwa jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1,505,405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84 persen. Sementara itu jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi presentase pertumbuhan penduduk non asli Papua pertahunnya 10.82 persen.

Dengan asumsi pertambuhan penduduk per tahun 1,84%, ia memprediksi pada akhir tahun 2010 jumlah penduduk asli Papua mencapai 1,760,557. http://gereja.tumblr.com/post/24663879014/mohon-doa-penduduk-asli-tanah-papua-terancam-punah

Bandingkan dengan data hasil Sensus BPS

Angka-angka yang ditampilkan oleh Emslie di atas, memang mendekati angka statistik BPS. Jumlah penduduk Papua tahun 1971 versi BPS adalah 923.440 jiwa. Hasil sensus penduduk tahun 2000 tercatat 2.220.934 jiwa. Sepuluh tahun kemudian, sensus 2010 berjumlah 2.833.381 (di Papua) dan di Papua Barat 760.422 jiwa. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12

Meraukepos.com menyebutkan, dari 2.833.381 penduduk Provinsi Papua tersebut, terdapat 674.063 warga non papua (pendatang), sedangkan warga asli Papua sebanyak 2.159.318 jiwa.http://www.meraukepos.com/2011/03/distribusi-penduduk-papua-belum-merata.html

Berarti terjadi pertambahan penduduk asli Papua dalam 40 tahun (thn 1971 – s.d 2010) sekitar 1,2 juta jiwa (lebih dari dua kali lipat).

Bandingkan dengan provinsi dan negara tetangga

Hasil penelusuran saya di beberapa situs resmi, jumlah penduduk PNG tahun 2012/2013 adalah 6.310.129. Tahun 2000 menurut sumber yang sama, jumlah penduduk PNG adalah 5.190.783 jiwa. Berarti dalam 12 tahun itu pertambahan penduduknya sekitar 1,2 juta jiwa. (sumber : http://countrymeters.info/en/Papua_New_Guinea/ dan http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini#Demografi dan http://www.statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=area&info1=6 )
Pertanyaan kritis yang bisa kita layangkan terhadap pernyataan Forkorus dan Selphius Bobii adalah, benarkan penduduk PNG tahun 1971 itu berjumlah 900 ribu jiwa? Dari mana angka itu? Mana ada sebuah wilayah yang penduduknya tidak sampai satu juta jiwa bisa menghasilkan pertambahan penduduk rata-rata satu juta jiwa per 10 tahun?

Coba bandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara. Sensus penduduk tahun 1971 berjumlah 6.621.831 jiwa. Sensus penduduk thn 2010 berjumlah 12.982.204. Demikian juga di Nusa Tenggara Barat (NTB), tahun 1971 berjumlah 2.203.465 menjadi 4.500.212 pada tahun 2010. Artinya setelah 40 tahun, jumlah penduduknya baru bertambah dua kali lipat. Tetapi untuk PNG, dalam 40 tahun bertambah 6 kali lipat? (sumber: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12)

Bandingkan juga dengan Vanuatu, tahun 2004 tercatat 202.609 jiwa dan tahun 2013 menjadi 252.605 jiwa. Berarti dalam 9 tahun penduduk Vanuatu bertambah sekitar 50 ribu jiwa. http://countrymeters.info/en/Vanuatu/. Artinya setelah 40 tahun atau tahun 2044 penduduk Vanuatu baru bisa mencapai 500 ribu jiwa (dua kali lipat dari 2004).

Demikian juga di Negara Kaledonia Baru berdasarkan sensus penduduk tahun 2004 berjumlah 230.789 jiwa. Tahun 2013 berjumlah 263.047 jiwa http://countrymeters.info/en/New_Caledonia/ Berarti dalam 9 tahun pertambahan penduduknya sekitar 33 ribu jiwa.

Jumlah penduduk Fiji menurut sensus tahun 2007 tercatat 837.271 jiwa (http://www.statsfiji.gov.fj/) dan Tahun 2012/2013 berjumlah 890.057 jiwa (http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=area&info1=6). Berarti selama 5 tahun penduduk Fiji hanya bertambah sekitar 50-an ribu jiwa atau 100 ribu jiwa dalam 10 tahun. Jumlah penduduk Fiji saat ini, nyaris sama dengan jumlah penduduk PNG 40 tahun lalu (versi Forkorus dan Bobii). Dalam 40 tahun ke depan (dengan ratio pertambahan  100 ribu sampai 150 ribu penduduk per 10 tahun) penduduk Fiji paling banyak mencapai 2,5 juta jiwa. Padahal di negara ini  tidak ada genosida. Demikianpun di Vanuatu, PNG dan Sumut serta NTB.

Saya sengaja memilih beberapa negara saja yang kebetulan negara rumpun Melanesia (anggota MSG) yang secara geografis berada di Pasifik Selatan atau tak jauh dari Papua. Jika tahun 1971 penduduk asli Papua berjumlah 887.000 (versi Forkorus dan Bobii) dan sensus 2010 jumlah penduduk asli Papua 2.159.318 jiwa, berarti dalam tempo 40 tahun jumlah OAP telah bertambah hampir 2,5 kali lipat. Ratio itu bahkan melebihi pertambahan penduduk di  Fiji, Vanuatu dan PNG.

Genosida?

Menilik angka-angka yang ditampilkan di atas, tidak tampak adanya keanehan dalam hal pertumbuhan penduduk, baik di Papua maupun di negara tetangganya Vanuatu, Fiji, Kaledonia Baru, bahkan juga di dalam negeri sendiri seperti di NTB dan Sumut. Semuanya tampak wajar dan alamiah. Menjadi persoalan besar ketika obyek yang dijadikan perbandingan (penduduk PNG tahun 1971) dipatok hanya 900 ribu jiwa. Sekali lagi, dari mana angka itu?

Apakah di masa penjajahan, PNG sudah melakukan sensus? Karena PNG baru memiliki pemerintahan sendiri pada 1 Desember 1973 dan baru merdeka 16 September 1975 atas ‘restu’ Ratu Inggris. Apakah ada negara penjajah kala itu yang berbaik hati melakukan sensun penduduk untuk mengetahui jumlah warga pribumi?

Asumsi saya, dengan menggunakan ratio:  ‘setiap 40 tahun terjadi pertambahan penduduk dua kali lipat’, maka penduduk PNG tahun 1971 = jumlah penduduk saat ini dibagi dua. Yaitu 6.310.129 : 2. Maka Jumlah Penduduk PNG tahun 1971 tidak kurang dari 3 Juta jiwa, bukan 900 ribu jiwa seperti klaim Forkorus dan Selphius Bobii.

Semoga kita tidak tertipu oleh kampanye-kampanye murahan para pendukung Papua merdeka. [***]

sumber : http://zonadamai.com/2014/03/17/benarkah-di-indonesia-ada-genosida/
 
Design by Muhai Tabuni | Bloggerized by Muhay Tabuni - Pemuda Papua Blogger Themes | Muda Merdeka Papua Indonesia management