Selasa, 23 September 2014
Papua, antara Gereja, Pelanggaran Ham dan Korupsi
Selasa, September 23, 2014
Unknown
No comments
PAPUA_HTTP – Tanggal 5 Februari 1855, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, teluk Doreh, Manokwari Papua. Pada hari itu, mereka memberkati Papua. Genderang pewartaan Injil pun bergema. Orang Papua secara resmi menerima Tuhan dan Injil. Peristiwa bersejarah ini, di kemudian hari dikenal sebagai hari pekabaran Injil, dan dirayakan secara meriah di seluruh tanah Papua.
Demikian halnya, di selatan Papua, tanggal 14 Agustus 1905 para misionaris katolik dari Belanda secara resmi membuka pos misi, untuk memulai karya pewartaan Injil. Sekali lagi, Papua diberkati. Kini, hampir di setiap kabupaten/kota di Papua memiliki situs Injil masuk di daerahnya. Situs ini sebagai simbol yang mengingatkan bahwa Papua telah menerima Tuhan Yesus dan Injil serta diberkati oleh Tuhan. Sudah ratusan tahun orang Papua menerima Yesus dan Injil. Demikian halnya, gedung gereja berjejer di setiap jengkal tanah yang didiami orang Papua. Setiap hari Minggu, orang Papua, yang mayoritas menganut Kristen berbondong-bondong ke gereja. Kitab Suci dan kidung pujian ditenteng dengan bangga. Langkah tegap menghadap altar Tuhan. Di sana, jemaat berdoa, bernyanyi, mendengarkan firman Tuhan dan mengikuti perjamuan Tuhan. Suasana sakral dan meriah selalu hadir dalam perayaan itu.
Sayangnya, semua itu berakhir di dalam gedung gereja. Selepas ibadah, cerita kontras dengan suasana dalam gedung gereja dijumpai di setiap sudut tanah Papua. Tidak sedikit pejabat, yang kalau datang ke gereja duduk di bangku terdepan, melakukan tindakan yang jauh dari ajaran Tuhan dan semangat Injil. Para pejabat ini, memiliki rumah mewah, mobil, motor dan berbagai barang mewah lainnya. Mereka hidup mewah di atas penderitaan orang Papua, yang kalau sakit sulit pergi ke Puskesmas karena tidak punya uang untuk ongkos ojek. Anak-anak Papua yang sulit mendapat akses pendidikan tidak dihiraukan. Demikian halnya, mama-mama Papua yang berjualan di bawah sengat matahari tak kunjung mendapatkan tempat berjualan yang layak. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara, yang kini dipegang oleh anak-anak Papua sendiri, yang sedari leluhur sudah menerima Tuhan Yesus dan Injil.
Pemandangan yang sama tampak juga dalam kehidupan sosial orang Papua, yang setiap saat berada dalam bayang-bayang diskriminasi dan kriminalisasi oleh aparat negara. Ketika para aktivis Papua bicara tentang sejarah Papua, keadilan dan kebenaran, mereka selalu mendapat intimidasi. Kebebasan benar-benar dikekang. Bahkan tidak sedikit yang mati karena memperjuangkan keadilan di atas tanah Papua. Situasi ini semakin runyam tatkala Papua menjadi tempat transit ribuan aparat negara, yang siap membungkam suara orang Papua yang menuntut keadilan dan pelurusan sejarah Papua.
Bukan itu saja, pelanggaran hak asasi manusia, yang menyengsarakan orang Papua, menjadi lengkap tatkala korupsi merajalela. Uang otsus Papua sudah puluhan triliun mengalir ke Papua, tetapi orang Papua tetap menderita. Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun dan menyejahterakan orang Papua, justru dikorupsi (dicuri) oleh para pejabat, yang sebagian besar adalah orang Papua, yang juga menganut iman kristiani. Para pejabat, yang biasa setiap hari minggu atau saat ibadah duduk paling depan, justru mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa peduli pada jerit penderitaan sesamanya, yang juga adalah orang Papua.
Menyaksikan semua ini, patut dipertanyakan dan direfleksikan, sejauh mana Gereja dan Injil memengaruhi moralitas pejabat-pejabat (di) Papua? Sejauh mana Gereja dan Injil berperan dalam proses transformasi di Papua? Sejauh mana orang-orang Kristen, yang telah menerima Tuhan dan Injil menjadi saksi akan imannya? Sejauh mana pemimpin Gereja dan para gembala umat menyikapi bobroknya situasi sosial di Papua ini?
Gereja mengatakan bahwa tidak mau terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara, politik praktis dan apa pun yang berkaitan dengan dunia ini.
Gereja hanya mau bicara tentang liturgi dan bangun gedung-gedung gereja yang mewah. Gereja hanya mau bicara kalau ada ancaman langsung terhadap institusinya atau ritusnya dilecehkan. Realitas sosial yang bobrok di tanah Papua, ternyata membungkam suara kenabian, yang seharusnya dikumandangkan oleh para pemimpin Gereja dan gembala umat. Kenyataannya, peminpin Gereja dan gembala jemaat diam! Bahkan pada satu sisi, Gereja bilang tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan dan poitik praktis, tetapi kenyataannya para pemipin Gereja dan gembala biasa duduk di kursi terdepan bersama para pejabat yang korup tatkala ada acara-acara resmi kenegaraan. Ini memalukan!
Tampak bahwa kolaborasi antara Gereja dan penguasa untuk menindas orang Papua benar-benar terjadi. Ironinya, para gembala merasa nyaman tatkala bersanding-ria dengan para pejabat yang korup dan menyengsarakan orang Papua. Para gembala kurang peduli pada jerit penderitaan jemaat. Mereka pun turut menikmati kemewahan bersama para pejabat korup di atas penderitaan jemaat dan orang Papua. Bahkan saat ini ada trend, para gembala mau hidup mewah, walaupun sebagian dari mereka menjanjikan hidup sederhana dan miskin di hadapan jemaatnya.
Selain kolaborasi seperti itu, para pemimpin Gereja dan gembala jemaat saat ini cenderung membangun gereja fisik, ketimbang membangun jemaat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tengah kota, tetapi juga di wilayah terpencil. Jemaat diminta kumpul uang untuk bangun gedung gereja dan tempat tinggal para gembala. Gedung gereja menjadi fokus, sementara jemaat, yang adalah manusia ditelantarkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa wibawa Gereja sebagai pihak yang telah membawa Injil ke tanah Papua sedang merosot. Dan mestinya para gembala malu, sebab mereka selalu mengatakan bahwa orang Papua sudah diselamatkan oleh kehadiran Gereja dan Injil Tuhan, tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Jemaat dan orang Papua semakin menderita.
Saat ini dan ke depan, Gereja (para gembala dan segenap jemaat) perlu kembali kepada Injil Tuhan, yang otentik. Para gembala perlu menyuarakan suara kenabian secara lantang untuk melawan situasi sosial yang bobrok di tanah Papua. Demikian halnya, segenap jemaat perlu menjadi saksi Injil dalam setiap tutur kata dan perbuatan: berlaku adil dan jujur. Tidak korupsi.
Oleh : Muhai Tabuni
0 komentar:
Posting Komentar