PAPUA_HTTP – Tanggal 5 Februari 1855, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob
Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, teluk Doreh, Manokwari
Papua. Pada hari itu, mereka memberkati Papua. Genderang pewartaan Injil
pun bergema. Orang Papua secara resmi menerima Tuhan dan Injil.
Peristiwa bersejarah ini, di kemudian hari dikenal sebagai hari
pekabaran Injil, dan dirayakan secara meriah di seluruh tanah Papua.
Demikian halnya, di selatan Papua, tanggal 14 Agustus 1905 para
misionaris katolik dari Belanda secara resmi membuka pos misi, untuk
memulai karya pewartaan Injil. Sekali lagi, Papua diberkati. Kini,
hampir di setiap kabupaten/kota di Papua memiliki situs Injil masuk di
daerahnya. Situs ini sebagai simbol yang mengingatkan bahwa Papua telah
menerima Tuhan Yesus dan Injil serta diberkati oleh Tuhan.
Sudah ratusan tahun orang Papua menerima Yesus dan Injil. Demikian
halnya, gedung gereja berjejer di setiap jengkal tanah yang didiami
orang Papua. Setiap hari Minggu, orang Papua, yang mayoritas menganut
Kristen berbondong-bondong ke gereja. Kitab Suci dan kidung pujian
ditenteng dengan bangga. Langkah tegap menghadap altar Tuhan. Di sana,
jemaat berdoa, bernyanyi, mendengarkan firman Tuhan dan mengikuti
perjamuan Tuhan. Suasana sakral dan meriah selalu hadir dalam perayaan
itu.
Sayangnya, semua itu berakhir di dalam gedung gereja. Selepas ibadah,
cerita kontras dengan suasana dalam gedung gereja dijumpai di setiap
sudut tanah Papua. Tidak sedikit pejabat, yang kalau datang ke gereja
duduk di bangku terdepan, melakukan tindakan yang jauh dari ajaran Tuhan
dan semangat Injil. Para pejabat ini, memiliki rumah mewah, mobil,
motor dan berbagai barang mewah lainnya. Mereka hidup mewah di atas
penderitaan orang Papua, yang kalau sakit sulit pergi ke Puskesmas
karena tidak punya uang untuk ongkos ojek. Anak-anak Papua yang sulit
mendapat akses pendidikan tidak dihiraukan. Demikian halnya, mama-mama
Papua yang berjualan di bawah sengat matahari tak kunjung mendapatkan
tempat berjualan yang layak. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia
yang dilakukan oleh negara, yang kini dipegang oleh anak-anak Papua
sendiri, yang sedari leluhur sudah menerima Tuhan Yesus dan Injil.
Pemandangan yang sama tampak juga dalam kehidupan sosial orang Papua,
yang setiap saat berada dalam bayang-bayang diskriminasi dan
kriminalisasi oleh aparat negara. Ketika para aktivis Papua bicara
tentang sejarah Papua, keadilan dan kebenaran, mereka selalu mendapat
intimidasi. Kebebasan benar-benar dikekang. Bahkan tidak sedikit yang
mati karena memperjuangkan keadilan di atas tanah Papua. Situasi ini
semakin runyam tatkala Papua menjadi tempat transit ribuan aparat
negara, yang siap membungkam suara orang Papua yang menuntut keadilan
dan pelurusan sejarah Papua.
Bukan itu saja, pelanggaran hak asasi manusia, yang menyengsarakan
orang Papua, menjadi lengkap tatkala korupsi merajalela. Uang otsus
Papua sudah puluhan triliun mengalir ke Papua, tetapi orang Papua tetap
menderita. Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun dan
menyejahterakan orang Papua, justru dikorupsi (dicuri) oleh para
pejabat, yang sebagian besar adalah orang Papua, yang juga menganut iman
kristiani. Para pejabat, yang biasa setiap hari minggu atau saat ibadah
duduk paling depan, justru mencuri uang rakyat. Mereka memperkaya diri
sendiri dan keluarganya, tanpa peduli pada jerit penderitaan sesamanya,
yang juga adalah orang Papua.
Menyaksikan semua ini, patut dipertanyakan dan direfleksikan, sejauh
mana Gereja dan Injil memengaruhi moralitas pejabat-pejabat (di) Papua?
Sejauh mana Gereja dan Injil berperan dalam proses transformasi di
Papua? Sejauh mana orang-orang Kristen, yang telah menerima Tuhan dan
Injil menjadi saksi akan imannya? Sejauh mana pemimpin Gereja dan para
gembala umat menyikapi bobroknya situasi sosial di Papua ini?
Gereja mengatakan bahwa tidak mau terlibat dalam urusan
penyelenggaraan negara, politik praktis dan apa pun yang berkaitan
dengan dunia ini.
Gereja hanya mau bicara tentang liturgi dan bangun
gedung-gedung gereja yang mewah. Gereja hanya mau bicara kalau ada
ancaman langsung terhadap institusinya atau ritusnya dilecehkan.
Realitas sosial yang bobrok di tanah Papua, ternyata membungkam suara
kenabian, yang seharusnya dikumandangkan oleh para pemimpin Gereja dan
gembala umat. Kenyataannya, peminpin Gereja dan gembala jemaat diam!
Bahkan pada satu sisi, Gereja bilang tidak mau terlibat dalam urusan
pemerintahan dan poitik praktis, tetapi kenyataannya para pemipin Gereja
dan gembala biasa duduk di kursi terdepan bersama para pejabat yang
korup tatkala ada acara-acara resmi kenegaraan. Ini memalukan!
Tampak bahwa kolaborasi antara Gereja dan penguasa untuk menindas
orang Papua benar-benar terjadi. Ironinya, para gembala merasa nyaman
tatkala bersanding-ria dengan para pejabat yang korup dan menyengsarakan
orang Papua. Para gembala kurang peduli pada jerit penderitaan jemaat.
Mereka pun turut menikmati kemewahan bersama para pejabat korup di atas
penderitaan jemaat dan orang Papua. Bahkan saat ini ada trend, para
gembala mau hidup mewah, walaupun sebagian dari mereka menjanjikan hidup
sederhana dan miskin di hadapan jemaatnya.
Selain kolaborasi seperti itu, para pemimpin Gereja dan gembala
jemaat saat ini cenderung membangun gereja fisik, ketimbang membangun
jemaat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tengah kota, tetapi juga di
wilayah terpencil. Jemaat diminta kumpul uang untuk bangun gedung gereja
dan tempat tinggal para gembala. Gedung gereja menjadi fokus, sementara
jemaat, yang adalah manusia ditelantarkan. Situasi ini memperlihatkan
bahwa wibawa Gereja sebagai pihak yang telah membawa Injil ke tanah
Papua sedang merosot. Dan mestinya para gembala malu, sebab mereka
selalu mengatakan bahwa orang Papua sudah diselamatkan oleh kehadiran
Gereja dan Injil Tuhan, tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Jemaat dan orang Papua semakin menderita.
Saat ini dan ke depan, Gereja (para gembala dan segenap jemaat) perlu
kembali kepada Injil Tuhan, yang otentik. Para gembala perlu
menyuarakan suara kenabian secara lantang untuk melawan situasi sosial
yang bobrok di tanah Papua. Demikian halnya, segenap jemaat perlu
menjadi saksi Injil dalam setiap tutur kata dan perbuatan: berlaku adil
dan jujur. Tidak korupsi.
Oleh : Muhai Tabuni