Begitu luasnya Indonesia, sehingga sampai detik ini masih banyak misteri tersembunyi yang belum terkuak. sebutlah pulau Jawa yang banyak terdapat tempat – tempat bekas hunian
prasejarah. Hunian tersebut kemudian diidentifikasi pernah menjadi
tempat “kebudayaan” pada masa lampau. Istilah-istilah seperti kebudayaan
Kali Baksoko, Pacitan, Sangiran, dan lain-lain. Lantas bagaimana dengan
Papua?
Di Papua belum banyak penemuan-penemuan arkeologi yang ditemukan. Hal
tersebut karena tidak banyak penelitian yang dilakukan di Papua.
Padahal, pada topografi kars berupa gua-gua batu gamping banyak terdapat
situs-situs hunian manusia purba. Misalnya, Gua Pawon, Padalarang, dan
Pegunungan Sewu, Pacitan. Maka Papua adalah kawasan yang paling luas di
Indonesia dari segi tutupan batuan batu gamping.
Dari aspek penelitian prasejarah, sebenarnya Papua bisa menjadi
daerah yang menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, sebab
beberapa situs arkeologi telah ditemukan sampai ketinggian 4000 meter,
yaitu di gua-gua gamping yang terdapat di Pegunungan Tengah Papua.
Pada tahun 1971-1973 ditemukan tulang-tulang, artefak batu, abu, dan
cangkang-cangkang kerang dari Ekspedisi Australia-Indonesia untuk
Gletsyer Carstenz pada ketinggian 4000 meter di sebuah tempat bernama
Mapala Rockshelter. Saat ditera, artefak tersebut menghasilkan umur 5440
tahun yang lalu. Hope dan Hope (1976) berdasarkan analisis palinologi
di Ijomba Bog, masih di kawasan Pegunungan Tengah, juga menyimpulkan
bahwa pada 10.500 tyl, ada manusia purba di kawasan ini yang pernah
membuka hutan dengan membakarnya. Pembukaan hutan yang lebih tua dengan
cara membakarnya juga ditemukan di Lembah Baliem, yang sisa-sisanya
menunjukkan umur 32.000 tyl.
Situs arkeologi tertua di pulau Papua (termasuk Papua New Gini) yang
berumur 40.000 tahun yang lalu masih dipegang oleh sebuah gua di pantai
utara Papua di Semenanjung Huon.
Pada wilayah Papua paling barat yang sering disebut sebagai Kepala
Burung, penelitian terbaru Juliette Pasveer menemukan hunian manusia
purba berumur Plistosen-awal Holosen pada kawasan kars batu gamping Kais
di Ayamaru.
Pliosen; (Geo); adalah zaman dalam sejarah perkembangan kulit bumi,
kira-kira 16 juta sampai dengan 4 juta tahun lalu;Kawasan topografi kars
Ayamaru terbentuk sejak Pliosen setelah Sesar Sorong secara aktif mulai
memengaruhi Cekungan Salawati pada Mio-Pliosen. Sesar besar ini telah
menjungkirbalikkan Cekungan Salawati sedemikian rupa sehingga deposenter
cekungan ini pindah dari sebelumnya berada di sebelah selatan bergeser
ke sebelah utara sampai barat.
Akibat pembalikan ini, maka secara isostatik bagian selatan (Misool)
dan bagian timur (Ayamaru) cekungan terangkat, menyingkapkan batu
gamping Kais. Lalu kemudian, singkapan batu gamping Kais di Misool dan
Ayamaru mengalami pelapukan dan erosi menghasilkan kawasan topografi
kars seperti terlihat sekarang. Pada Plistosen atas manusia purba mulai
bermigrasi ke Papua melalui dua jalan, dari sebelah barat (Halmahera)
atau dari sebelah selatan.
Terletak di bagian tengah Kepala Burung, Plato Ayamaru membentuk
topografi kars. Sampai saat ini ketinggiannya terangkat sekitar 350
meter di atas muka laut. Terdapat tiga buah danau dangkal yang saling
berhubungan. Satu danau terbentuk pada mid-Holosen, dua yang lain lebih
tua lagi. Saat ini, penyebaran penduduk Ayamaru terkonsentrasi di
sekitar ketiga danau ini.
Situs arkeologi di Plato Ayamaru ditemukan di dua gua yang berkembang
tak jauh dari ketiga danau itu. Kedua gua itu adalah Gua Kria dan Gua
Toe yang terpisah sejauh 12 km.
Gua Kria mempunyai sedimen setebal dua meter dengan stratigrafi yang
tak terganggu deformasi. Pasveer (2004) membagi sedimen ini menjadi lima
satuan hunian (occupation unit). Setiap satuan sedimen mengandung
artefak-artefak berupa perkakas terbuat dari tulang dan batu, sisa-sisa
hewan (terutama walabi hutan, di samping cangkang-cangkang moluska).
Lapisan-lapisan itu dibedakan berdasarkan kuantitas artefak yang
ditemukan.Moluska: (Zoologi); hewan berbadan lunak, sering bercangkang
keras, (ct: siput, bekicot, ikan gurita)
Lapisan-lapisan dari terbawah sampai teratas berumur sekitar
8000-1840 tahun yang lalu. Di lapisan teratas sedikit ditemukan artefak
dan sisa hewan, tetapi ditemukan bekas-bekas manusia yang dikubur. Tidak
ada tanda-tanda bahwa penduduk Ayamaru masih menggunakan gua tersebut
sebagai kuburan.
Gua Toe berisi sedimen setebal 140 cm. Sedimen tersebut berisi dua
lapisan. Stratigrafi sedimen agak kompleks karena lantai gua miring dan
terdapat bekas nendatan (slump) atau runtuhan. Satuan sedimen bawah
berumur paling tua 26.000 tahun yang lalu (Plistosen) mengandung
perkakas batu dan sisa hewan yang lebih memfosil dibandingkan satuan
sedimen atas. Satuan sedimen atas yang umurnya paling muda sampai 3000
tahun yang lalu, mengandung lebih banyak perkakas batu dan sisa-sisa
hewan. Hewan Plistosen penghuni Gua Toe mestinya sejenis hewan yang saat
ini hidup di ketinggian 1000 meter.
Pleistosen: adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang
berlangsung antara 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang lalu.Unit berumur
Plistosen di Gua Toe ternyata menceritakan beberapa kisah menarik
tentang perubahan iklim setelah the Last Glacial Maximum. Periode Last
Glacial Maximum ini terjadi sekitar 26.000 tahun yang lalu. Selama
periode ini temperatur menurun drastis. Hewan-hewan yang biasa hidup di
ketinggian +1000 m melakukan penyesuaian dengan cara menuruni lereng
mencari tempat yang relatif lebih hangat. Mereka turun sampai wilayah
Ayamaru (+350 m). Zona-zona vegetasi yang biasa ditemukan di kawasan
lereng-puncak pun turun sampai kaki pegunungan. Temperatur menghangat
kembali sekitar 12.000-10.000 tahun yang lalu dan telah menyerupai
kondisi sekarang.
Dari banyak gua yang terbentuk pada plato kars gamping, hingga saat
ini hanya dua gua di Plato Ayamaru yang baru diselidiki prasejarahnya.
Belum ada penelitian khusus mengenai kars topografi batu gamping Kais di
Pulau Misool dan Semenanjung Onin yang pada Mio-Pliosen kedua wilayah
ini sama-sama terangkat sebagai kompensasi isostatik saat bagian utara
Cekungan Salawati makin tenggelam.
Banyak hal-hal di masa lalu yang bersembunyi di daratan Papua. Namun,
sayangnya Penelitan Prasejarah di Papua dan wilayah-wilayah di
Indonesia lainnya belum banyak “tersentuh” oleh para peneliti.
Sumber: www.wacananusantara.org
0 komentar:
Posting Komentar