Satukan Indonesia dari sini
Dedikasi lagu hasil karya pemuda Papua yang menggambarkan kekayaan alam dan kekuatan persatuan Nusantara meski beragam budaya. "Satukan Indonesia dalam Cinta" itulah pesan yang begitu kuat yang disampaikan oleh lagu milik Pay - Papua Dalam Cinta (feat. Soa Soa)
Mari Cerdaskan generasi muda Papua Indonesia
Indonesia merupakan satu kesatuan dari berbagai rangkaian pulau serta ragam budaya yang membuatnya sangat istimewa, tidak ada diskriminasi atau pembedaan untuk seluruh rakyatnya terutama dalam bidang pendidikan yang menjadi salah satu aspek utama untuk mencerdaskan kahidupan bangsa
Masyarakat Papua Kembali dibodohi KNPB
Masyarakat Papua telah kesekiankalinya diberikan iming-iming oleh segelintir orang seperti Benny Wenda di luar negeri atau Komite Nasional Papua Barat, biasa disebut KNPB yang selalu mengatakan bahwa Papua akan merdeka dalam waktu dekat, namun hingga saat ini jauh dari kenyataan
Indonesia ini Indonesia milik kita
Siapa lagi yang akan menjaganya kalau bukan kita sendiri.. siapa lagi yang rela untuk memberikan semuanya untuk negeri ini jika bukan seorang pahlawan sejati. dan kitalah pahlawan-pahlawan itu yang akan senantiasa menjaga kedaulatan tanah ini
Muda Merdeka Papua Indonesia
Kobarkan semangatmu.. Bulatkan tekadmu.. tunjukkan kreasimu.. engkaulah 'Pemuda' harapan Bangsa, engkaulah bara api yang siap membakar dan membumi hanguskan mereka para pengusik Nusantara raya.. Engkaulah Cakar yang siap menerkam.. mencengkram.. dan Melumatkan para pembelot di halaman kita.. di Papua Indonesia.
Senin, 25 November 2013
Membangun Papua Tak Cukup dengan IPTEK
Senin, 18 November 2013
Intrik Politik Papua
Papua, 16 September 2013. Adakah yang masih memikirkan tentang kebenaran pemahaman Nasionalisme serta hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik? Sementara situasi di Papua kembali menegangkan pasca mahasiswa/i yang katanya melakukan aksi damai di depan Universitas Cenderawasih, di Jayapura ditangkap. Mahasiswa/i mengadakan protes damai untuk mendesak pihak Uncen memberikan draf RUU Otsus Plus yang sedang digarap oleh pemerintah daerah dengan keterlibatan Universitas Cenderawasih. Gubernur Papua Lukas Enembe menyambut ajakan Presiden SBY yang memberikan kesempatan kepada Papua untuk mendesain secara komprehensif draf RUU Otsus Plus. Menggunakan momentum sisa masa tugas Presiden SBY, Gubernur menyambut insiatif Presiden SBY ini dengan memberdayakan Uncen yang pernah terlibat dalam pembuatan UU Otsus Papua. Sekalipun sudah disadari bahwa RUU Otsus Plus tidak ada dalam pengumuman Prolegnas DPR 2013, tetapi baik Gubernur dan Mendagri masing-masing telah mempersiapkan draf RUU tsb untuk meningkatkan kesejahteraan Rakyat Papua dan Kemajuan Papua dalam segi fisik.
Memperhatikan pengadaan RUU Otsus Plus yang dikemas Gubernur dan Mendagri bertemu pihak DPR di awal bulan Juli 2013, upaya ini sempat mendapat kritik dari masyarakat Papua karena dinilai tidak mewakili aspirasi bersama dan berakar pada mekanisme pengambilan suara yang dipraktekkan dalam masyarakat Papua. Keterlibatan Majelis Rakyat Papua dalam penyusunan draf RUU Otsus Plus juga dipertanyakan oleh masyarakat, mengingat MRP adalah wakil-wakil rakyat yang representasinya mewakili orang asli Papua menurut sukunya masing-masing. Namun jika kita feedback kembali, inilah kewajiban mereka dalam mengambil kebijakan demi kemajuan bersama.
Ilustrasi |
Padahal, apabila kita kaji kembali pernyataan dari Pdt Benny Giay diatas, pernyataan tersebut malah menjadi Boomerang untuk beliau sendiri. Justru Pemerintah Daerah dalam rangka membangun aspirasi dari masyarakat di seluruh Papua melalui mekanisme diskusi yang disiapkan oleh Panitia Khusus Perancangan UU Otsus Plus yang difasilitasi oleh Asisten Bidang Pemerintahan Pemerintah Daerah. maka disitulah Pemda juga menyertakan pihak Uncen selaku Pemuda yang secara notabene adalah penerus bangsa agar ikut menyumbangkan aspirasi demi kemajuan bersama. disamping itu Pemda juga menghadirkan pihak-pihak terkait sesuai fungsi masing-masing.
Menarik memperhatikan tanggapan beberapa Media Online yang menilai tentang pelaksanaan konferensi press yang dilakukan oleh Pdt. Benny Giay dianggap sebagai tanda penolakan terhadap percepatan pembangunan di tanah Papua. Anggapan dari kelompok masyarakat ini justru bertolak belakang dengan kenyataan tentang tujuan dari pelaksanaan RUU Otsus Plus adalah menjaminkan tentang pencalonan kepala daerah di Propinsi Papua dan Papua Barat harus berasal dari anak Papua. Selain itu, RUU ini juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung memperoleh dana pajak yang diserahkan oleh PT Freeport tanpa melalui pengelolaan pemerintah pusat.
Dengan pengalaman sebagai seorang Pendeta yang melihat secara jeli penderitaan orang asli Papua, Pdt. Benny Giay tentu saja berani bertanya tentang dampak dari perancangan UU Otsus Khusus ini sebenarnya untuk siapakah? Pengalaman selama hampir 12 tahun sejak UU Otsus Papua diturunkan, perubahan secara ekonomi yang mengantarkan orang asli Papua menjadi pelaku ekonomi di tanah sendiri belum terlihat dengan merata. Beban masyarakat bersama saat ini adalah kemiskinan dan rendahnya SDM di Papua dalam mengelola Papua tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari ketidak matangan antara produk UU Otsus yang dihasilkan dengan mekanisme pembangunan yang profesional tanpa terjadinya penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan sendiri, maupun korupsi yang menjamur pada berbagai birokrasi di Papua.
Saya tidak terlalu mengenal Pdt Benny Giay, kecuali membaca disertasinya yang berjudul Zakheus Pakage and His Communities (1995), Tetapi sekarang, Sebagai orang Papua, dengan kapasitas melakukan penelitian melintasi ruang dan disiplin sosiologi dan antropologi untuk mengerti bagaimana orang Papua berpikir, Pdt Benny Giay dengan cara pemikirannya berbeda dari pemerintah atau kelompok elite lain di dalam lapisan struktur sosial di sana, saya menilai bahwa sebesar apapun hak kita untuk menyetir Pemerintah Daerah, kita harus melihat dari segi Kewajiban kita sebagai masyarakat madani harus mendukung kebijakan dan usaha pemerintah untuk memajukan Provinsi Papua secara sistematis maupun fisik.Sedangkan demi menggapai tujuan pembangunan suatu daerah, itu tidak terlepas dari bagaimana peranan lapisan masyarakat dalam mendukung program Pemerintah Daerah yang juga ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Papua sendiri.
Danau Sentani
danau sentani |
Di danau ini juga terdapat 21 buah pulau kecil menghiasi danau yang indah ini. Arti kata Sentani berarti "di sini kami tinggal dengan damai”. Nama Sentani sendiri pertama kali disebut oleh seorang Pendeta Kristen BL Bin ketika melaksanakan misionaris di wilayah danau ini pada tahun 1898.
Danau ini sudah dikelola menjadi objek wisata karena berjarak 50 kilometer dari Jayapura dan mudah dijangkau, sebagai pelengkap di danau ini sudah banyak terdapat perahu wisata untuk berkeliling di danau sentani.
danau sentani |
Di danau ini terdapat 30 spesies ikan air tawar dan empat di antaranya merupakan endemik danau sentani yaitu ikan gabus danau sentani (Oxyeleotris heterodon), Ikan Pelangi Sentani (Chilatherina sentaniensis), Ikan Pelangi Merah(Glossolepis incisus) dan Hiu gergaji (Pristis microdon). Danau Sentani kaya akan beragam biota laut dan sudah dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar. Danau Sentani juga dijadikan lokasi wisata untuk berenang, bersampan, menyelam, memancing, ski air serta wisata kuliner. Diantara ketiga ikan endemik danau sentani yang populasinya semakin menyusut adalah ikan gabus danau sentani,hal ini dikarenakan telur ikan ini dimakan oleh ikan gabus dari jenis yang lain.
Inilah Papua, dengan Seribu Keindahannya
The Art Of Papua
1. Burung Cendrawasih.
Burung Cenderawaasih |
Burung Cenderawasih |
Raja Ampat Papua Indonesia |
Raja Ampat Papua Indonesia |
Honay |
Honay |
Papeda |
Papeda |
Sagu |
Tifa |
Tifa dalam Upacara adat dan perayaan |
Bakar Batu |
hutan Papua |
hutan Papua |
Hiu Gergaji |
hiu gergaji adalah jenis ikan yang hidup di Danau Sentani. Hiu gergaji juga populer dengan nama pari atau hiu sentani karena memang endemik di Danau Sentani, Papua. Orang barat menyebutnya Largetooth Jawfish yang berarti ikan hiu bergigi besar. Ikan ini termasuk ikan air tawar dan berkembak biak dengan cara ovovivipar.
Walaupun penampilan hiu gergaji cukup mengerikan, namun bukan berarti ikan ini menjadi penguasa di Danau Sentani. Fakta di lapangan menunjukkan populasi anggota famili Pristidae yang bernama Latin Pristis Microdon ini terus menyusut. Ikan yang menyebar di Australia, India, Papua Nugini, Afrika Selatan dan Thailand ini tergolong penghuni air tawar dan menyukai daerah tropis. Biasanya mereka hidup di danau-danau besar, sungai besar atau rawa-rawa tertentu. Di Indonesia ikan hiu gergaji terdapat di Sungai Digul, Sungai Mahakam (Kalimantan), Sungai Siak dan Sungai Sepih.
Ikan ini senang memangsa ikan-ikan berukuran sedang atau yang berbadan lebih kecil. Ukuran tubuh hiu gergaji sendiri lumayan besar, mampu mencapai 6,6 meter. Mulutnya yang diselimuti gerigi tajam cukup ampuh untuk melumpuhkan mangsanya dalam sekejap mata. Padahal menurut beberapa ahli, pandangan mata hiu gergaji tidak terlalu baik, bahkan cenderung buram. Mereka lebih mengandalkan daya penciumannya yang lumayan tajam.
hiu gergaji |
Walaupun penampilan hiu gergaji cukup mengerikan, namun bukan berarti ikan ini menjadi penguasa di Danau Sentani. Fakta di lapangan menunjukkan populasi anggota famili Pristidae yang bernama Latin Pristis microdon ini terus menyusut. Ikan yang menyebar di Australia, India, Papua Nugini, Afrika Selatan dan Thailand ini tergolong penghuni air tawar dan menyukai daerah tropis. Biasanya mereka hidup di danau-danau besar, sungai besar atau rawa-rawa tertentu. Di Indonesia ikan hiu gergaji terdapat di Sungai Digul, Sungai Mahakam (Kalimantan), Sungai Siak dan Sungai Sepih.
Ikan ini mulai sulit dijumpai karena itu ia masuk dalam daftar merah IUCN, yakni daftar spesies yang dilindungi karena sudah terancam punah. Populasi ikan ini makin berkurang akibat kian kecilnya habitat hidup mereka seiring makin bertambahnya populasi manusia. Di samping itu, mereka kerap diburu oleh pa ra kolektor ikan secara tidak bertanggung jawab. Bahkan penduduk setempat masih sering menangkapnya karena dianggap sebagai predator ikan-ikan lain.
Itulah keajaiban Papua yang tak dimiliki oleh daearah lain.. dan inilah yang membuat "Tong bangga jadi Papua".
Kamis, 14 November 2013
Gubernur Nilai Kelompok yang Menolak ‘Otsus Plus’ Tak Mewakili Aspirasi Masyarakat Papua
aktivis GEMPAR dalam demo |
Senin (4/11/2013) aksi penolakan Otsus Papua kembali terjadi. Ratusan orang melakukan longmarch dari depan Kampus Uncen Perumnas III menuju Kantor Gubernur Papua. Aksi demo damai ini mengusung aspirasi menolak Otsus Plus, atau Undang – Undang Pemerintah Provinsi Papua.
Massa terdiri dari unsur pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (GEMPAR) Papua.
“Stop tipu kami lagi dengan Otsus Plus Papua”, “Rakyat Papua tolak Otsus Plus Papua”, “Gubernur bunuh rakyat Papua dan Otsus Plus”. Demikian antara lain sejumlah phamflet dan spanduk yang dibawa massa pendemo. Meski diguyur hujan, tak menyurutkan niat para massa pendemo berjalan kaki. Akibat longmarch ini sempat membuat kemacetan panjang dari arah Abepura ke Jayapura, begitupun sebaliknya. Aksi longmarch ini dikawal ketat aparat kepolisian dari Polresta Jayapura dipimpin langsung Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare, S.I.K., didampingi Wakapolres AKP Kiki Kurnia.
Ketua BEM STIKOM, Daniel Kosama saat menyampaikan orasinya di depan Kantor Gubernur Papua mengatakan, “Kami meminta dengan tegas kepada gubernur Papua untuk segera menghentikan pembahasan Otonomi Khusus (Otsus) Plus karena Otsus yang sebelumnya sudah dianggap gagal oleh rakyat Papua dan belum ada evaluasi terhadap Otsus sebelumnya.”
Dikatakan, selama 12 tahun perjalanan dari Otsus itu tidak ada yang mengembirakan dan juga tidak perlu dibanggakan, karena dengan adanya Otsus malah orang asli Papua (OAP) semakin termarginalkan di atas tanah leluhurnya sendiri.
Hal senada disampaikan perwakilan perempuan Papua, Selfy Yeimo, Ketua BEM STIE Port Numbay, Mambri Rumrawer dan Koordinator GEMPAR yang juga selaku Penanggung Jawab aksi demo Yason Ngelia dalam orasi mereka.
Tak Mewakili Aspirasi Masyarakat Papua
Setelah menunggu beberapa saat di halaman Kantor Gubernur, 10 orang perwakilan pengunjuk rasa diterima untuk bertemu Gubernur Papua, Lukas Enembe. Mereka adalah perwakilan dari Ketua – Ketua BEM baik dari PTN maupun PTS di Kota Jayapura.Setelah menyampaikan aspirasi, para pendemo itupun bubar dengan tertib.
Usai pertemuan dengan 10 perwakilan itu, Gubernur Papua Lukas Enembe kepada pers mengatakan, aspirasi dari pemuda dan mahasiswa yang disampaikan kepada pihaknya itu bukan seluruh masyarakat yang ada di atas Tanah Papua.
“Jadi, aspirasi dari pemuda dan mahasiswa yang disampaikan kepada kami…yang menyatakan bahwa seluruh komponen rakyat Papua menolak Otsus Plus itu bukanlah aspirasi dari seluruh masyarakat yang ada diatas tanah Papua. Tetapi ini hanya pernyataan dari segelintir orang saja. Kita bisa lihat massa yang datang kesini jumlahnya kecil, yakni hanya ratusan orang saja dan tak sampai 1000 orang. Lagian yang datang lakukan demo itu sebagian besar adalah mahasiswa bukan seluruh rakyat Papua,” ungkap Gubernur.
“Demo ini hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Kemungkinan ini hanya kesalapahaman di internal kampus. Karena wacana untuk adanya Otsus Plus ini bukan dilahirkan oleh saya. Tetapi ini murni dilahirkan atas keinginan dari kalangan kampus dalam hal ini lembaga Uncen,” jelasnya lagi.
Dikatakan Gubernur, setelah melakukan berbagai macam kajian dan seminar tentang perjalanan Otsus selama 12 tahun oleh Uncen. Dan, berangkat dari kajian itu dilakukan sebuah renungan yang panjang. Kemudian dari hasil renungan itu membuahkan Otsus Plus selanjutnya hasil kajian akan disampaikan pada Pemerintah RI dalam hal ini Presiden SBY.
“Meskipun aspirasi ini tidak mewakili seluruh komponen rakyat, akan tetapi aspirasinya tetap kami terima dan akan kami bahas di tim asistensi antara DPR Papua, DPR Papua Barat, MRP, MRPB, Gubernur Papua maupun Gubernur Papua Barat, dikarenakan hal ini merupakan persoalan bersama yakni menyangkut persoalan diseluruh Tanah Papua,” tukasnya.
Selasa, 12 November 2013
ADA APA DENGAN MAHASISWA?
Auditorium Uncen |
Pendemo di depan auditorium Uncen |
Amsal Sama Ketua BEM FH Uncen |
Hal ini jelas bertolak belakang dengan aturan hukum yang telah tercantum dalam UU yang sempat di jelaskan oleh Kabidhumas Polda Papua, AKBP Sulistyo Pudjo H, SIK bahwa permasalahan sebenarnya adalah pendemo berusaha menggagalkan jalannya acara seminar dan pameran sehingga mereka di amankan dan mereka dijerat dengan pasal 335 KUHP yang menjelaskan tentang adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atau dengan perbuatan tidak menyenangkan. Karena itu pihak Kepolisian mengamankan 16 orang demonstran untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Senin, 11 November 2013
HARI DIMANA PAHLAWAN KITA BERTERIAK MENGAJAK UNTUK BANGKIT
HARI DIMANA PAHLAWAN KITA BERTERIAK MENGAJAK UNTUK BANGKIT
Pria kelahiran Serui, Irian Jaya, 18 Desember 1918 ini merupakan orang yang berjiwa kebangsaan Indonesia yang sangat tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan dari sekolah setingkat sekolah dasar dan dari sekolah juru rawat, Silas kemudian menjadi Pegawai Pemerintah Belanda. Namun karena jiwa ke-Indonesia-annya yang begitu tinggi, maka begitu ia mendengar bahwa Indonesia telah merdeka, ia pun langsung mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pada bulan Desember 1945, bersama teman-temannya berusaha mempengaruhi pemuda-pemuda di Irian Barat yang tergabung dalam Batalyon Papua agar melancarkan pemberontakan. Rencana itu gagal karena telah bocor duluan. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Jaya Pura. Setelah bebas, pemberontakan kedua pun direncanakan kembali. Namun lagi-lagi gagal karena keburu bocor. Ia pun kembali ditangkap dan dipindahkan ke Serui. Di Serui inilah ia kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Dr.Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan Belanda dari Sulawesi yang kembali dikuasai Belanda setelah proklamasi kemerdekaan.
Selanjutnya pada bulan Nopember 1946, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Karenanya, ia kembali ditangkap pemerintah Belanda dan memindahkannya ke Biak. Dari Biak, tanpa sepengetahuan Belanda, ia melarikan diri ke Yogyakarta. Dan pada bulan Oktober 1949, ia kemudian membentuk Badan Perjuangan Irian yang bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda sekaligus menyatukannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di pihak lain, Belanda tetap berupaya mempertahankan Irian Barat sebagai daerah kekuasaannya. Akhirnya pemerintah Indonesia sampai pada kesimpulan untuk merebut Irian Barat walau dengan cara kekuatan senjata sekalipun.
Silas Papare yang memang sangat menginginkan cepatnya berakhir penguasaan Belanda di tanah leluhurnya itu dengan cepat mengambil bagian dalam rencana pemerintah RI tersebut. Bahkan rupanya jauh-jauh hari, Silas malah sudah mempersiapkan diri akan perang terbuka ini dengan membentuk Kompi Irian di lingkungan Mabes Angkatan Darat.
Namun pada saat akhir-akhir hendak meletusnya perang terbuka tersebut, Belanda akhirnya bersedia berunding. Penandatangan persetujuan pun resmi di lakukan oleh keduabelah pihak pada tanggal 15 Agustus 1962. Dalam penantanganan Persetujuan New York itu, Silas Papare ikut terlibat sebagai anggota delegasi RI.
Tanggal 1 Mei 1963, Irian Barat pun resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Hal sesuai dengan isi persetujuan New York tersebut. Nama Irian Barat pun kemudian diganti menjadi Irian Jaya.
Walau masa hidup Silas Papare lebih banyak terkuras pada usaha pembebasan negerinya, namun semua jerih payahnya itu terasa terbayar sudah. Tanggal 7 Maret 1978, Silas baru kemudian meninggal dunia di tanah kelahirannya Serui.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.
siapakah yang sebenarnya menjadi musuh bangsa ini? Musuh besar kita tak lain dan tak bukan adalah korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itulah sejumlah masalah utama yang dihadapi negeri ini sekarang.
jadi pantaskah indonesia hari ini disebut sebagai negara yang merdeka? korupsi semakin merajalela, seolah-olah para penguasa negeri ini berlomba-lomba mengais uang rakyat. Jumlah orang miskin juga seperti tak ada habis-habisnya, padahal sudah banyak sekali pembangunan dilakukan dimana-mana. apakah pemerintah sudah tidak peduli lagi dengan rakyat miskin?
Memperingati Hari Pahlawan merupakan saat yang tepat untuk mengevaluasi ulang pemahaman kita akan arti pahlawan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi seremoni tampa makna, tak membuat perubahan apa pun bagi negara. Negara seperti dibiarkan berjalan menuju bibir jurang.
Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Dalam konteks ini kita dapat mengisi makna Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tahun pada 10 November, termasuk pada hari ini. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
wahai pemuda, negeri ini menunggu kiprahmu untuk menjadi seorang pahlawan.
Minggu, 03 November 2013
the story of repentance of OPM founder to return to Mother Earth
the story of repentance of OPM founder to return to Mother Earth
Some time ago Mrs. Indra Sugandi, the writer's friend and senior, lent me an interesting book written by Nicolaas Jouwe titled: Kembali ke Indonesia; Langkah, Pemikiran, dan Keinginan (Return to Indonesia: Steps, Thoughts and Desires. This book tells about a 89 -year-old man, who once was one of the founders of the Free Papua Movement (OPM) and has returned to the bosom of Mother Earth. Through the Jouwe's narratives in this book , a series of facts could be revealed that the existence of an international conspiracy behind the idea of internationalizing Papua as a first step towards Papua Independence, separated from the Republic of Indonesia.
"I personally judge my escape to the Netherlands is a regrettable choice. But now, I realize that Papua is part of the Republic of Indonesia," said Jouwe.
Nicholaas Jouwe was born in Jayapura on 24 November 1923. In this book which unfortunately was published with unsystematic editing techniques, Jouwe said that he began to settle in the Netherlands in 1961 when Indonesia was under the leadership of Sukarno, struggling for the return of Papua to the bosom of Mother Earth.
However Jouwe, who was still young, took side with the Dutch colonial government, and along with some of his friends, he founded the Free Papua Movement Operations called the Free Papua Movement (OPM). Because Dutch promised Jouwe to be Papua president if in the future it could be independent.
Jouwe even the one who made the Morning Star flag that was first flown on December 1, 1961. " At that time I was a member of the New Guinea Council (Nieuw Guinea Raad) in which in the meeting organized by the Dutch colonial government, I was elected democratically in all areas of Papua."
According to Jouwe that is incidentally the key actor of the OPM formation, the December 1, 1961 event is often used as the basis of Papuan leaders to claim that the state of Papua once existed but was usurped by an international conspiracy of Indonesia , the United States and the Dutch colonial state.
Of course this is a version of the OPM in twisting facts and reality. Yet through the Jouwe's testimony after returning to Indonesia in 2009, two thirds of the member states of the UN General Assembly received the results of so-called Pepera (the determination of society's opinion) in 1969. Consequently the people of Papua became an official part of the Homeland.
And this is also the Jouwe's reason to decide to return home to Indonesia. Because in his view, that the efforts of Papua to separate itself from the Unitary State of Republic of Indonesia (NKRI) is not in line with history.
The story of Jouwe's return to the bosom of Mother Earth has its own story which is also interesting to taken into account. On March 17, 2009, accompanied by his two children, Nancy and Nico, he decided to attend the invitation of President SBY to return home to Indonesia.
In January 2010, Jouwe settled in Jayapura. Then, how is the story of Jouwe in deciding to return to Indonesia and back to the Homeland?
In 2009 a delegation under the leadership of Ms. Fabiola Ohei arrived in Den Haag with a letter from president SBY to Jouwe. In the time, Fabiola could meet with Jouwe and was accompanied by Ondofolo (Customary Chief) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon Meset, the first pilot from Papua, ITB graduate, and the Reverend Father Adolf Hanasbey.
The SBY's letter essentially invited Jouwe to return home to Indonesia. Based on the letter, Jouwe met Fanie Habibie, Indonesian Ambassador to the Netherlands at the time.
So we both met quickly once we become familiar with each other, as we both had met a long time. Then we both talked about my return. We talked a lot then Pai Tua said that Pai Tua had a lot of friends from Ambon. He was appointed by the Ambonese became respectable member of Ambon. There is a letter of appreciation he has. He said and he began to ask : " Nic , if I call you with Ambon's songs, will you with with me?
Then I say to Fanie : "Father, I has grown with two cultures, Papua and Ambon, Maluku. So just tell Father." Then he said again : "Nico, I has a rhyme from Ambon : Laju-laju perahu laju, laju sampai Surabaya. Biar lupa kain dan baju, tapi jangan lupa par beta."
I then said : " Oh good . " I also wanted to reply : Angin timur gelombang barat, kapal angkasa warna merpati, Bapa di timur Beta di barat, apa rasa dalam hati."
Tua Pai replied again with a rhyme : "Naik-naik ke Batu Gajah, Rasa Haus makan kwini, Beta rasa sengaja saja, Siapa tahu jadi begini."
Mr Fanie asked : I want to know, when will you go home quickly? I replied with another poem: Riang-riang ke Bangkahulu, rama-rama si batang padi, diam-diam sabar dahulu, lama-lama tokh akan jadi.”
Mr Fanie said again : let's go home." And I replied : " Yes, I'll go home."
After having a dinner with Fanie Habibie, I gave one last poem to Mr. Ambassador.
“Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kalapa, budi Bapa Dubes sudah sampe, Beta mau balas dengan Apa?”
Mr Fanie replied again : Yes , please go home. I replied : " Yes, I go home."
That is the Jouwe's narratives. Then shortly after that, a diplomatic treaty about the Nicolas Jouwe's return to Indonesia by Mr Fanie Habibie was made.
The story of Jouwe's secret meeting with John F Kennedy
The interesting aspect of this book is the Jouwe's meeting with Kennedy in 1962, in which we know Kennedy agreed with Soekarno in order that the Dutch could immediately return Papua to Indonesia.
According to Jouwe, his meeting with Kennedy later became one of the reasons why he finally decided to return to join the Homeland.
For Jouwe the impressive thing is that when Kennedy asked if Jouwe knew about the history of Papua and knew how long Papua could be into the orbit of the Dutch colony. And naively Jouwe answered that he knew nothing. Because what Jouwe knew through history that he learned in school is about the history of the Netherlands, its geography, how many rivers and mountains in the Netherlands and so on. But in regard with the Papuan history, Jouwe admitted openly to the Kennedy he did not know.
This is where the interesting aspects of the Jouwe's story when he met President Kennedy. Kennedy told Jouwe about the Dutch colonial politics. Why Papuan history itself is not notified to the people of Papua? Because the Dutch knew that Papua is rich in gold, silver and copper.
"The Dutch did not want anyone from the outside to come to Papua . Dutch wanted to prevent the outside from getting into Papua to control it," Kennedy told Jouwe.
Even Kennedy also said that the government of Netherlands propagandized that Papua was littered fully with a wide range of dangerous diseases such as malaria and others. The Netherlands even scared that those who come to Papua would die. In short , the Netherlands carried out such propaganda in order that people do not dare to visit to Papua.
Of the story, Kennedy fully supported the integration of Papua to Indonesia. The Jouwe's meeting with Kennedy is precisely in order to persuade Jouwe to agree Papua to be part of Indonesia.
It is understandable if his meeting with Kennedy is confidential, because Jouwe was in the capacity as an advisor and member of the Kingdom of the Netherlands in Dutch and Indonesian negotiations. So the Jouwe's official position in the time was in the interests of the Dutch colonial government.
If we observe today, no doubt it is a historical irony. Kennedy, the U.S. president going hand-in-hand with Soekarno and the Indonesian government in the period 1960-1963,was intensively fighting for the return of Papua to Indonesia. While Jouwe that is in fact the son of Papua, supported the Dutch by agreing to internationalize Papua independence as a counter to the issue of the struggle of Indonesia to seize West Papua or Irian.
Kisah Pertobatan Pendiri OPM Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Nicolaas Jouwe, Kisah Pertobatan Pendiri OPM Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
"Belanda pernah mengatakan kepada saya bahwa Hindia Belanda merupakan satu-satunya harapan bagi Belanda sebagai pemasok kebutuhan bahan mentah bagi industrinya." (Nicolaas Jouwe, Pendiri Organisasi Papua Merdeka-OPM)
Dia ceritakan itu dan dia mulai menanyakan: “Nic, kalau beta panggil se dengan lagu-lagu Ambon apa se bisa iko beta?
Setelah makan malam bersama Fanie Habibie, saya memberi satu pantun terakhir kepada Pak Duta Besar.
Demikian kisah yang dituturkan Jouwe. Maka tak lama setelah itu, dibuatlah traktat diplomasi ihwal kepulangan Nicolaas Jouwe ke Indonesia oleh Dubes Fanie Habibie.
Kisah Pertemuan Rahasia Jouwe dengan John F Kennedy
Sisi menarik dari buku ini, adalah pertemuan Jouwe dengan Kennedy pada 1962, yang kita tahu Kennedy bersepakat dengan Bung Karno agar Belanda secepatnya melepas Papua kembali ke tangan Indonesia.
Jouwe dan Perspektif Baru Memaknai Papua
Tahun Terbit : 2013
Tempat Terbit : Jakarta
Deskripsi Fisik : xx, 116 hlm. : il. ; 25 cm
Abstrak : Buku ini menyampaikan gambaran dan buah pikiran penulis yaitu Nicolaas Jouwe tentang
pembangunan dan penyelesaian masalah Papua berdasarkan pengalaman pribadinya sejak
proses pembentukan Papua hingga menjadi Papua seperti sekarang ini. Buku ini menyajikan
kisah-kisah sederhana penulis.